Sertifikasi profesi digital forensik



JAKARTA. Sebagai sebuah pekerjaan yang berlandaskan prinsip scientific methods, digital forensik juga memiliki prosedur sangat ketat. Semua aktivitas digital forensik harus terdokumentasi dan memiliki acuan kerja atau standar operasional (SOP). Sebab output dari digital forensik akan menjadi bagian penting seperti dalam proses pembuktian hukum di pengadilan.

Yudi Prayudi, Kepala Pusat Studi Forensika Digital, Fakultas Teknik Informatika, Universitas Islam Indonesia (UII) mengatakan, beberapa acuan dan standar internasional umumnya dijadikan sebagai SOP kerja digital forensik seperti dokumen dari ACPO Inggris, NIJ Amerika, ISO 27037 tentang penanganan bukti digital.

Adapun kompetensi keahlian digital forensik merujuk kepada beberapa vendor di luar negeri. Pertama, bersifat sebagai vendor based, yaitu sertifikasi keahlian dalam menguasai produk tertentu yang menjadi salah satu perangkat aktivitas digital forensik. “Contohnya Ence untuk keahlian dalam penguasaan produk Encase dan ACE bagi produk Forensic Toolkit,” katanya.


Kedua, sertifikasi yang bersifat general alias non vendor based. Umumnya fokus pada penguasaan konsep dasar dari digital forensik. Contoh sertifikasi ini adalah CHFI dari EC-Council, GIAC dari SANS. Ketiga, sertifikasi yang dikeluarkan oleh asosiasi misalnya CFE dari Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) atau CCE dari International Society of Forensic Computer Examiners (ISFCE).

“Untuk lingkup Indonesia, hingga saat ini belum ada lembaga pada level nasional yang mengeluarkan sertifikat profesi atau kompetensi untuk keahlian bidang digital forensik,” terang Yudi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dadan M. Ramdan