Sertifikasi sawit Uni Eropa bisa jadi bibit perang dagang lawan CPOPC



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah berlarut dengan Brexit, Komisi Uni Eropa kini menghadapi ketegangan baru dengan negara-negara pemasok sawit terbesar di dunia. Dilansir dari Bloomberg, Komisi Uni Eropa pada Rabu (13/3) makin ketat membatasi penggunaan sawit sebagai bahan bakar dengan pemberlakuan sistem sertifikasi. 

Pihak EU mengkategorikan sawit sebagai sumber daya yang tidak berkelanjutan (unsustainable) yang mengancam lingkungan dan menambahk emisi gas rumah kaca.

EU ingin menguras emisi gas rumah kaca global sebesar 40% pada 2030. Angka ini meningkat dari tahun 1990, di mana EU berencana mengurangi emisi sebesar 32% dan meningkatkan efisiensi energi sebesar 32,5%


Sistem sertifikasi ini sendiri akan berjalan dengan penetapan batas lahan maksimal 2 hektar hingga 5 hektar. Pihak EU juga berencana membatasi penggunaan sawit pada 2019, memulai penghentian secara bertahap pada 2023, dan resmi menetapkan larangan penggunaan sawit pada 2030.

Kebijakan EU ini juga akan membentuk dewan pengawas perubahan penggunaan lahan tidak langsung atau yang dikenal juga dengan Indirect Land Use Change (ILUC). Penanaman sawit yang menyebabkan deforestasi disinyalir akan digantikan dengan tanaman pangan.

Dengan kebijakan ini, negara penghasil sawit masih dapat menggunakan dan mengimpor bahan bakar sawit dalam kadar beresiko ILUC tinggi. Tetapi ke depannya, akan ada volume yang diatur.

"Negara-negara anggota penghasil sawit masih akan dapat menggunakan dan mengimpor bahan bakar yang termasuk dalam kategori biofuel berisiko ILUC tinggi," jelas pernyataan EU.

Karena ketegangan ini, harga sawit atau CPO telah jatuh sebanyak 18% sejak 2018. Hal ini juga didorong oleh para pegiat lingkungan yang mempromosikan gerakan anti sawit.

Ketentuan ini tentu saja membuat panas negara-negara berkembang yang memasok sawit, di antaranya adalah Indonesia, Malaysia, dan Columbia yang tergabung dalam Dewan Negara Penghasil Minyak Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries, CPOPC). Indonesia sendiri sudah menyebut kebijakan EU sangatlah diskriminatif.

Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi bahkan mengirim surat pada 8 Maret lalu kepada petinggi UE, Federica Mogherini, dan menyatakan bahwa negara-negara penghasil sawit akan membawa kasus ini kepada lembaga World Trade Organization (WTO), jika Eropa menyetujui sertifikasi dan kebijakan EU.

Lebih lanjut, Rini juga berkata jika pembatasan pengunaan sawit yang digalakkan EU sama saja dengan mengancam perjuangan negara melawan kemiskinan. Dirinya berharap jika Indoensia dan EU akan menemukan sebuah win-win solution.

CPOC, sebagai lembaga yang memasok 90% minyak sawit secara global, mengumumkan jika mereka akan bersama-sama menentang kebijakan EU melalui konsultasi bilateral maupun melalui WTO. Mereka juga sepakat menyebut kebijakan EU bermasalah secara ilmiah. 

Mereka mempertanyakan mengapa EU hanya mempermasalahkan sawit dan tidak memasukkan permasalahan lingkungan yang lebih luas terkait dengan tanaman minyak nabati lainnya.

Sedangkan Menteri Perindustrian Malaysia, Teresa Kok,menyebut pihaknya akan menghentikan perluasan dan ekspansi perkebunan sawit dan berusaha menghilangkan reputasi sawit sebagai pendorong deforestasi.

Menurut Dewan Kelapa Sawit Malaysia, EU sendiri ternyata menjadi pembeli terbesar sawit setelah India dengan kebutuhan ekspor sebesar 12% dari ekspor sawit Malaysia pada tahun 2018.

Kebijakan ini tidak menutup celah akan menjadi bibit perang dagang jilid kedua pasca perseteruan Amerika Serikat (AS) dengan China.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi