Sertifikat tak gratis



Di Badan Pertanahan Nasional (BPN) mungkin enggak ada kutipan. Tapi, uangnya ngumpul di kelurahan, ungkap seorang tetangga saya dalam sebuah perbincangan di suatu malam.

Tetangga saya memang menjadi salah satu warga Tangerang Selatan yang menerima sertifikat tanah pada Jumat (25/1) pagi pekan lalu. Meski program pendaftaran tanah sistematik lengkap (PTSL) itu disebut-sebut gratis, cerita di lapangan memang beda.

Di masyarakat, program percepatan pembuatan sertifikat tanah tersebut lebih sering disebut sebagai program pemutihan tanah. Kalau memakai jalur biasa, biaya pembuatan sertifikat tanah bisa mencapai puluhan juta rupiah. Dengan program andalan pemerintahan Joko Widodo ini, kabarnya, biayanya gratis. Bahkan, prosesnya dipermudah, tidak dibuat berbelit-belit, harus melewati banyak meja yang selama ini otomatis menambah biaya.


Mungkin yang biayanya benar-benar gratis ada, tapi jumlahnya mungkin tidak banyak. Tergantung juga kebijakan pemerintah setempat. Kalau mau jujur dan berniat membantu warga, bukan mustahil biaya pengurusan sertifikat ini memang gratis. Tapi, di banyak tempat, termasuk di Tangerang Selatan, biaya yang harus dikeluarkan warga tetap ada. Mungkin tidak sampai puluhan juta seperti tanpa program ini, tapi setidaknya, warga harus rela kena satu juta atau dua juta rupiah.

Memang tidak mudah menghapus urusan yang selama ini termasuk lahan basah menjadi lahan kering, dari sumber duit menjadi tak berduit. Ini masalah mengubah mentalitas. Masih menurut beberapa tetangga, biaya pengukuran tanah oleh petugas saja bisa mulai Rp 150.000 sampai Rp 250.000. Belum lagi pembelian dan pengisian formulir di kelurahan. Bisa ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Alasannya, butuh untuk wira-wiri ke kantor pertanahan. Biaya lebih besar lagi kalau yang mengurusi RT/RW setempat. Seringkali sudah dipatok tarif paketan sampai tiga jutaan. Ke warga, alasannya, itu biaya yang diminta kelurahan.

Sepertinya, memang tidak ada makan siang gratis. Program sertifikasi dari pemerintah memang mendorong agar semakin banyak tanah warga yang berketetapan hukum. Mungkin juga meringankan beban warga dari biaya-biaya siluman. Tapi, bukan berarti menghapus biaya tanpa kuitansi yang dinikmati para oknum-oknum di tingkat RT/RW atau kelurahan. Mengubah mental dari tingkat bawah memang lebih susah.

Bagus Marsudi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi