Seru, revisi UU Perbankan mulai dari awal lagi



JAKARTA. Pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Perbankan, menemui babak baru. Setelah periode 2014 lalu RUU Perbankan hasil revisi gagal disahkan, Komisi XI DPR yang membawahi bidang keuangan menyatakan, pembahasan revisi UU Perbankan akan dimulai dari awal.

Wakil Ketua Komisi XI DPR, Gus Irawan Pasaribu yang juga menjabat Ketua Panja Revisi RUU Perbankan bilang, pihaknya memprioritaskan pembahasan revisi UU Perbankan. Komisi XI DPR telah membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU Perbankan.

Panja menjadikan draf RUU Perbankan yang disusun DPR periode 2009-2014 sebagai referensi. Gus Irawan menyatakan, UU Perbankan perlu direvisi lantaran UU Perbankan yang ada selama ini merupakan warisan International Monetary Fund yang sangat memihak asing.


Pembatasan asing dan tugas BI-OJK

Karena itu, dengan revisi UU Perbankan ini, maka Komisi XI DPR akan membatasi kepemilikan asing. "Sebab saat ini ada investor asing yang memiliki 99% saham di perbankan Indonesia. Yang paling penting adalah membatasi kepemilikan asing," ucap Gus Irawan kepada KONTAN, Senin (30/3).

Poin penting lainnya yang akan dibahas dalam revisi UU Perbankan ini adalah penegasan pembatasan keberadaan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Perlu adanya pembahasan pembatasan peranan dua lembaga regulator ini bertujuan supaya tidak ada lagi wilayah kerja yang abu-abu dan tumpang tindih antara BI dan OJK.

Sebab, kata Gus Irawan, dalam UU Perbankan yang sekarang berlaku, masih ada peranan BI dan OJK yang bersinggungan. Contohnya, lalu lintas pembayaran yang berada dalam wilayah kontrol BI namun pada pelaksanaannya dilakukan oleh institusi perbankan yang diawasi oleh OJK. Selain itu, juga belum ada definisi detil mengenai makro prudensial perbankan sehingga peranan BI dalam sektor itu pun masih berada dalam wilayah abu-abu.

Perlu pemisahan fungsi BI dan OJK, lanjut Gus Irawan, guna memperkuat koordinasi dan komunikasi antara BI dan OJK. Karena, dengan fungsi BI di Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan, BI-lah yang menyiapkan instrumen Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek jika ada bank yang missmatch likuiditas. Namun, data terdapat di OJK karena pengawasan bank ada di OJK. "Jadi BI bisa kesulitan dalam mendapatkan data informasi industri perbankan. Ini yang ingin kami benahi," ucap Gus Irawan.

Peranan bank asing

Saat ini, Panja RUU Perbankan Komisi XI DPR tengah meminta masukan dari seluruh pemangku kepentingan yang terkait seperti pelaku usaha, pendapat ahli dari perguruan tinggi, BI, serta OJK. Dalam revisi UU Perbankan ini, Panja juga akan membahas peranan kantor cabang bank asing (KCBA) yang dihimbau untuk menjadi bank nasional.

Sebab, kata Gus Irawan, seluru perbankan yang beroperasi di Indonesia harus memiliki status badan hukum nasional. Untuk KCBA yang sudah ada dan telah beroperasi hingga saat ini, akan diberikan waktu transisi untuk menyesuaikan dengan aturan yang berlaku.

"Kami masih meminta masukan untuk revisi UU Perbankan saat ini. Kami himpun masukan dari semua pihak. Jika sudah ada kesepakatan, maka solusi terbaik adalah dengan ketentuan yang berlaku akan ada masa transisi untuk KCBA yang sekarang sudah beroperasi. Revisi UU Perbankan jug akan sinergis dan paralel dibahas dengan revisi UU BI dan pembahasan UU JPSK," jelasnya.

Dalam kesempatan yang berbeda, CEO ANZ Indonesia dan Ketua Foreign Bank Association of Indonesia (FBAI) alias Perhimpunan Bank-bank Internasional Indonesia (Perbina), Joseph Abraham, mengaku tidak akan ada dampak bagi bisnis ANZ di Indonesia jika nantinya KCBA akan berganti badan hukum menjadi bank nasional. Sebab, sebagai anak perusahaan yang tergabung secara lokal 99% dimiliki oleh ANZ Group, tidak ada dampak bagi ANZ di Indonesia.

Meski begitu, menurut Abraham, penting untuk ditekankan kembali bahwa bank-bank asing, baik lokal dengan pemilikan saham asing ataupun juga KCBA, memiliki peran penting untuk perkembangan ekonomi. Kantor cabang bank asing maupun bank lokal dengan pemegang saham pengendali investor asing selama dua tahun terakhir telah memberikan lebih dari 90% dari pinjaman sindikasi jangka panjang mata uang asing lebih dari US$ 30 miliar kepada perusahaan Indonesia milik negara (BUMN) dan swasta.

Indonesia, kata Abraham, membutuhkan lebih dari US$ 500 miliar di bidang infrastruktur dan kredit korporasi untuk mendukung pembangunan negara. Bank domestik saja, lanjutnya, tidak dapat memberikan tingkat pendanaan dan bank-bank asing akan menjadi penting untuk memberikan dana untuk korporat pinjaman mata uang asing, terutama Indonesia di mana mereka memiliki keunggulan komparatif.

Oleh karena itu, perlu juga didorong peran bank asing dalam perekonomian karena mereka melengkapi bank-bank domestik dan memainkan peran penting dalam memberikan pinjaman mata uang asing dan kemampuan untuk negara. "Bank asing juga menghasilkan ribuan lapangan kerja dan juga menyediakan pelatihan kelas dunia dan pengembangan bagi staf Indonesia," kata Joseph ke KONTAN.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Andri Indradie