Sesuaikan kebutuhan, PLN kaji PLTU mulut tambang agar tetap berlanjut



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menginginkan supaya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mulut tambang bisa terus berlanjut, meski beberapa di antaranya saat ini menemui kendala. Sebut saja, PLTU Riau-1 yang terjegal kasus hukum, serta PLTU Kaltim-5 dan Sumsel-6 yang terganjal masalah kontrak dan keekonomian.

Kepala Divisi Perencanaan Sistem PLN Adi Priyanto mengungkapkan, PLTU mulut tambang diperlukan oleh PLN untuk mengefisienkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) pembangkit. Apalagi, perencanaan dan pembangunan pembangkit tersebut telah memperhitungkan kebutuhan atau pertumbuhan permintaan listrik (demand).

"PLTU mulut tambang akan menjadi andalan kita untuk efisiensi. Prinsipnya juga supply and demand. Jadi kita lihat, kalau demand terus naik, tetap akan kita bangun," katanya kepada Kontan.co.id, Minggu (12/5).


Dibandingkan dengan periode sebelumnya, BPP Pembangkitan secara nasional rata-rata naik sebesar 9% selama 1 April 2019 hingga 31 Maret 2020. Melalui PLTU mulut tambang, PLN berharap dapat meraup efisiensi di tengah biaya BPP yang terus merangkak naik.

"Efisiensi (PLTU) mulut tambang dibandingkan pembangkit thermal bedanya bisa 20%-40%," ungkap Adi.

Sementara, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN tahun 2019-2028, pertumbuhan listrik diproyeksikan sebesar 6,42%. Sehingga, Adi menyebut PLN akan melakukan evaluasi untuk melihat kembali seberapa besar kebutuhan listrik, daya listrik tambahan yang harus segera dipasok, dan pembangkit mana yang bisa cepat tersambung dengan sistem.

"Jadi kalau demand tetap jalan, kita harus cari penggantinya, yang jelas demand tidak boleh tertekan," imbuh Adi.

Adi mengakui, jika proyek PLTU mulut tambang ada yang terkendala, maka target operasi komersial atau Commercial Operation Date (COD) akan disesuaikan. Sementara itu, untuk menjaga pasokan listrik dan memenuhi kebutuhan demand, PLN akan mencari daya dari pembangkit lain, atau menjadwal ulang pembangkit yang COD-nya bisa dipercepat.

"Kalau (ada proyek PLTU mulut tambang) yang bermasalah, COD pasti mundur. Nanti kita jadwal ulang, tapi (daya dari pembangkit lain) yang lain harus masuk, kita cari gantinya," terang Adi.

Terkait dengan PLTU Kaltim-5 dan Sumsel-6, Adi mengatakan bahwa kedua proyek tersebut terkendala kontrak. Hal itu lantaran keekonomian tarif secara business to business tidak menghasilkan titik temu antara PLN dan mitra.

"Kemungkinan adalah ketidaksesuaian B to B, karena dalam merancang poryek kan kita ingin harga yang paling kompetitif," ujarnya.

Adi bilang, untuk tetap membangun PLTU Kaltim-5 atau Sumsel-6, PLN bisa kembali bernegosiasi dengan mitra eksisting, atau bisa juga mencari mitra lain. Namun, ia menekankan bahwa keputusan tersebut harus mempertimbangkan keputusan dari divisi terkait, seperti bagian pengadaan, perencanaan sistem, dan juga bisnis regional PLN.

"Ini juga kan kita melihat prosesnya di Divisi Pengadaan dan regional, yang paling bagus yang mana. Kalau di (Divisi) Perencanaan Sistem inginnya ya sesuai dengan perkembangan demand," terangnya.

Seperti yang telah diberitakan Kontan.co.id sebelumnya, Adaro Energy telah mundur dari proyek PLTU Kaltim-5 kapasitas 2 x 100 Megawatt (MW). Direktur Utama Adaro Energy Garibaldi Thohir mengatakan, proyek tersebut dinilai tidak feasible sehingga pihaknya menarik diri sejak pertengahan tahun 2018 lalu.

Asal tahu saja, PLTU Kaltim-5 adalah kongsi dari anak usaha PLN, yakni Indonesia Power, bersama anak usaha Adaro Energy, yaitu Adaro Power.

Sementara itu, proyek PLTU Sumsel-6 dikabarkan tidak berlanjut karena tendernya dihentikan. Hal itu dinyatakan oleh Arviyan Arivin, Direktur Utama PT Bukit Asam (PTBA) yang akan membangun proyek pembangkit berkapasitas 2 x 300 MW tersebut.

"PLTU Sumsel-6 tidak dilanjutkan tendernya oleh PLN. Belum ada kepastian dari PLN," katanya kepada Kontan.co.id beberapa waktu lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi