Setahun Jokowi, PAD pajak online DKI melejit naik



JAKARTA. Salah satu upaya pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama untuk melakukan transparansi anggaran, adalah dengan menerapkan pajak online. Masih terbayang di benak saat Jokowi secara resmi meluncurkan penerapan sistem pajak online untuk wajib pajak di Jakarta. Jokowi percaya, melalui sistem pajak online dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Saat peluncuran pajak online, di Senayan City, pada Jumat (18/1/2013) lalu, Jokowi mengatakan, melalui penerapan sistem tersebut, akan terlihat sektor mana saja yang dapat memberikan kontribusi besar untuk pendapatan Jakarta. Kepala Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI Jakarta, Iwan Setiawandi mengatakan, di satu tahun kepemimpinan Jokowi-Basuki, atau tepat pada posisi triwulan III, PAD dari pajak online telah meningkat. Hingga 31 September 2013, PAD dari pajak online telah mencapai 78 persen atau Rp 17,628 triliun dari target Rp 22,6 triliun. "Angka ini meningkat hampir 21 persen di periode yang sama tahun lalu," kata Iwan, kepada Kompas.com, Rabu (16/10/2013) pagi ini. Angka itu didapatkan dari sebanyak 3.400 wajib pajak yang terdiri dari para pelaku hiburan, parkir, restoran, dan hotel. Para wajib pajak itu sudah terhubung langsung dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai penyelenggara sistem online. Kendati demikian, hingga akhir tahun ini, Iwan menargetkan 10.000 wajib pajak dapat terkoneksi dengan sistem online. Sebanyak 10.000 wajib pajak itu, terdiri dari sekitar 8.000 restoran, 200 hotel bintang 4 dan 5, 600 kosan dan hotel bintang 3 ke bawah, dan 700 lokasi parkir. Semua lokasi ini akan diterapkan sistem online. Ada beberapa kendala pelaksanaan pajak online ini. Beberapa wajib pajak justru masih menginginkan menggunakan pembayaran pajak secara manual. Mengapa demikian? Iwan menjelaskan, mesin kasir yang tersedia di wajib pajak ada tiga jenis. Jenis pertama adalah mesin kasir yang sudah terhubung ke komputer dan internet, kemudian jenis kedua mesin kasir yang tidak terhubung computer dan internet, dan jenis ketiga kasir manual yang hanya menggunakan bon tulis tangan dan kalkulator. Jenis pertama menjadi sasaran utama DPP DKI. Sebab, mereka sudah terhubung dengan komputer dan hanya perangkat lunaknya saja yang berbeda. Langkah selanjutnya, adalah dengan menyamakan sistem dengan sistem CMS BRI. Beberapa wajib pajak yang sudah online pun terkadang mengalami gangguan karena sambungan internet mereka terputus. Sehingga pada akhir masa penerimaan, perlu kembali diadakan rekonsiliasi pencocokkan data. "Kendala lainnya adalah masalah sumber daya manusia (SDM) yang hanya sekitar 900 orang se-DKI. Sedangkan, kalau melihat kebutuhan, jumlah restoran, hotel, meningkat terus, idealnya kita harus punya 1.500 orang. Karena ketika BRI mengkoneksikan jaringannya, harus ada petugas kita," ujar Iwan. Sementara itu, bagi wajib pajak yang masih menggunakan kasir manual dan kertas, BRI akan membuat system yang sama, yakni X-Boks. Pemasangan bisa dilakukan BRI dengan biaya yang dibebankan kepada wajib pajak, namun bisa dicicil agar tidak membebani wajib pajak. Populasi wajib pajak yang menggunakan mesin kasir manual ini, kata Iwan, sangat banyak, hingga .5000 wajib pajak lebih. Misalnya saja, seperti warung dan rumah makan padang. Selain itu, DPP DKI juga masih mencari alternatif lain wajib pajak dengan sistem manual. Alternatif lainnya dengan skema cash register. Misalnya wajib pajak membuka rekening BRI dan membayar pajak melalui transaksi di rekening BRI. Hanya satu bank Di samping hambatan wajib pajak, hingga saat ini, baru satu bank yang menerima pembayaran pajak online. Terkait permasalahan bank tersebut, kewenangan berada pada Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) DKI. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama telah memerintahkan pihak BPKD DKI untuk memprakarsa penambahan bank yang melayani pajak online. Menurut Iwan, satu hal yang menjadi penghambat bank belum bergabung melayani pembayaran pajak online karena alasan transaction fee. Sedangkan, transaction fee yang dikenakan oleh BRI adalah Rp 1.500 per transaksi. Namun, sejauh ini, ia melihat tren pembayaran pajak online semakin baik dan meningkat. Melalui pajak online, banyak keuntungan yang didapatkan. "Pembayaran melalui pajak online akan lebih transparan dan akuntabel, masyarakat bisa ikut mengawasi sisi perbankan dan masyarakat juga bisa melihat terbuka melalui cash management yang dibangun oleh bank. Wajib pajak juga lebih nyaman dalam melakukan transaksi, tidak ada lagi sengketa wajib pajak," kata Iwan. Pelaksanaan sistem pajak online itu mulai dari sistem cash management BRI dihubungkan ke DPP DKI. Semua system dan mesin di kasir, disediakan oleh BRI, tanpa menggunakan APBD. Namun, uang pembayaran pajak tersebut disalurkan melalui BRI ke Pemprov DKI. DPP DKI menerima pajak setiap tanggal 15 setiap bulan. Sebelumnya, pajak dihitung berdasarkan self-assessment atau laporan manual yang dibuat wajib pajak. Sistem manual rawan manipulasi karena pengawasan tidak bisa maksimal. Namun demikian, setelah online, nantinya petugas pajak tetap melakukan pengawasan terhadap wajib pajak yang nakal. Misalnya mencabut listrik mesin kasir dan mengatakan kepada konsumen bahwa mesin rusak, atau transaksi besar tidak dilakukan melalui mesin kasir, dan kecurangan-kecurangan wajib pajak lainnya. Petugas Unit Pelayanan Pajak Daerah (UPPD) Kecamatan akan tetap bekerja untuk pengawasan. Melalui penerapan sistem online, pajak daerah dapat digenjot penerimaannya. (Kurnia Sari Aziza/Kompas.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Dikky Setiawan