KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor mineral dan batubara (minerba) menjadi penopang dari target hilirisasi dimasa kepemimpinan Prabowo-Gibran. Ini terlihat dari pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang menyebut bahwa 90% hilirisasi ada di sektor pertambangan atau minerba. "Kita bicara hilirisasi. Ini 90 persennya dari sektor pertambangan. Mineral-batubara," ungkap Bahlil pada sambutannya dalam agenda Hipmi-Danantara Indonesia Bisnis Forum, di Jakarta, Senin (20/10/2025). Dalam catatan ESDM, Bahlil juga menampilkan bahwa sektor mineral dan batu bara Indonesia memiliki potensi investasi hingga US$ 498,4 miliar atau setara dengan Rp 8.261,47 triliun. Baca Juga: Banyak Peminat, Magang Hub Kemnaker Akan Dilanjut Tahun 2026 Potensi investasi ini berasal dari beberapa komoditas minerba andalan Indonesia seperti batubara, nikel, timah, tembaga, bauksit, besi baja, emas-perak, aspal buton, mangan, kobalt, hingga Logam Tanah Jarang (LTJ). Sayangnya, dari sisi pelaku usaha, hilirisasi minerba dalam satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran masih menemui beberapa kendala. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia, secara umum kebijakan pemerintah sudah tepat. Namun perlu dipertimbangkan beberapa kebijakan yang lebih fleksibel. "Sudah tepat, namun perlu dipertimbangkan kebijakan yang lebih fleksibel. Kebijakan ekspor konsentrat terbatas khususnya untuk mengakomodir perusahaan-perusahaan yang telah membangun fasilitas pengolahan-pemurnian dalam negeri yang sedang terkendala," ungkap Hendra saat dihubungi, Senin (20/10/2025). Menurutnya, dari perspektif penambang, produsen mineral telah menaati aturan kewajiban peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian dalam negeri seperti yang diatur dalam UU Mineral dan Batubara. "Untuk pengembangan industrialisasi yang berbasis mineral tentu menjadi Pekerjaan (PR) bersama agar industri dalam negeri bisa lebih berkembang dan menyerap produk mineral hasil pemurnian dalam negeri," tambahnya. Khusus untuk batubara, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesi (APBI) Gita Mahyarani mengatakan pihaknya memahami bahwa hilirisasi batubara merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah. Baca Juga: Indef Menilai Kebijakan Perdagangan Indonesia Adaptif tapi Belum Transformatif Utamanya soal hilirisasi Dimetil Eter (DME) yang dihasilkan dari proses gasifikasi batubara, terutama batubara kalori rendah, yang ditarget dapat menjadi substitusi dari Liquefied Petroleum Gas (LPG). "Namun dari sudut pandang pelaku usaha, proyek-proyek hilirisasi batubara seperti Dimetyl Eter (DME) masih menghadapi tantangan signifikan dari sisi keekonomian," kata dia. Menurutnya, biaya investasi dan operasional yang tinggi, kebutuhan infrastruktur besar, serta ketidakpastian harga jual produk membuat proyek-proyek tersebut sulit mencapai kelayakan komersial tanpa dukungan kebijakan yang kuat dan konsisten. "Dengan kondisi saat ini, hilirisasi batubara cenderung masih lebih feasible secara strategis ketimbang ekonomis," tambahnya. Secara global, Gita mengakui bahwa teknologi hilirisasi batubara telah tersedia, tetapi penerapannya di Indonesia belum sepenuhnya teruji. "Selain itu, sebagian besar teknologi tersebut masih bergantung pada lisensi luar negeri, yang berdampak pada tingginya biaya investasi dan risiko transfer teknologi," katanya. Lain halnya dengan batubara, dua mineral penting yang banyak dihasilkan dari tanah Indonesia yaitu nikel dan bauksit menghadapi permasalahan berbeda. Hilirisasi nikel meledak sejak pemerintah menerapkan larangan ekspor bijih nikel sudah berlaku sejak 1 Januari 2020. Sementara larangan ekspor bijih bauksit yang mulai berlaku sejak 10 Juni 2023, ternyata tidak mendorong perkembangan smelter bauksit secepat smelter nikel. Nikel Indonesia, masih berjuang dengan kampanye negatif dirty nickel. Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey kampanye negatif dirty nickel tersebut tidak adil. Sebab, yang tengah melakukan hilirisasi bukan saja nikel tetapi juga industri manufaktur lain.
Setahun Prabowo-Gibran, Hilirisasi Minerba Masih Menghadapi Sejumlah Kendala
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor mineral dan batubara (minerba) menjadi penopang dari target hilirisasi dimasa kepemimpinan Prabowo-Gibran. Ini terlihat dari pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang menyebut bahwa 90% hilirisasi ada di sektor pertambangan atau minerba. "Kita bicara hilirisasi. Ini 90 persennya dari sektor pertambangan. Mineral-batubara," ungkap Bahlil pada sambutannya dalam agenda Hipmi-Danantara Indonesia Bisnis Forum, di Jakarta, Senin (20/10/2025). Dalam catatan ESDM, Bahlil juga menampilkan bahwa sektor mineral dan batu bara Indonesia memiliki potensi investasi hingga US$ 498,4 miliar atau setara dengan Rp 8.261,47 triliun. Baca Juga: Banyak Peminat, Magang Hub Kemnaker Akan Dilanjut Tahun 2026 Potensi investasi ini berasal dari beberapa komoditas minerba andalan Indonesia seperti batubara, nikel, timah, tembaga, bauksit, besi baja, emas-perak, aspal buton, mangan, kobalt, hingga Logam Tanah Jarang (LTJ). Sayangnya, dari sisi pelaku usaha, hilirisasi minerba dalam satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran masih menemui beberapa kendala. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia, secara umum kebijakan pemerintah sudah tepat. Namun perlu dipertimbangkan beberapa kebijakan yang lebih fleksibel. "Sudah tepat, namun perlu dipertimbangkan kebijakan yang lebih fleksibel. Kebijakan ekspor konsentrat terbatas khususnya untuk mengakomodir perusahaan-perusahaan yang telah membangun fasilitas pengolahan-pemurnian dalam negeri yang sedang terkendala," ungkap Hendra saat dihubungi, Senin (20/10/2025). Menurutnya, dari perspektif penambang, produsen mineral telah menaati aturan kewajiban peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian dalam negeri seperti yang diatur dalam UU Mineral dan Batubara. "Untuk pengembangan industrialisasi yang berbasis mineral tentu menjadi Pekerjaan (PR) bersama agar industri dalam negeri bisa lebih berkembang dan menyerap produk mineral hasil pemurnian dalam negeri," tambahnya. Khusus untuk batubara, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesi (APBI) Gita Mahyarani mengatakan pihaknya memahami bahwa hilirisasi batubara merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah. Baca Juga: Indef Menilai Kebijakan Perdagangan Indonesia Adaptif tapi Belum Transformatif Utamanya soal hilirisasi Dimetil Eter (DME) yang dihasilkan dari proses gasifikasi batubara, terutama batubara kalori rendah, yang ditarget dapat menjadi substitusi dari Liquefied Petroleum Gas (LPG). "Namun dari sudut pandang pelaku usaha, proyek-proyek hilirisasi batubara seperti Dimetyl Eter (DME) masih menghadapi tantangan signifikan dari sisi keekonomian," kata dia. Menurutnya, biaya investasi dan operasional yang tinggi, kebutuhan infrastruktur besar, serta ketidakpastian harga jual produk membuat proyek-proyek tersebut sulit mencapai kelayakan komersial tanpa dukungan kebijakan yang kuat dan konsisten. "Dengan kondisi saat ini, hilirisasi batubara cenderung masih lebih feasible secara strategis ketimbang ekonomis," tambahnya. Secara global, Gita mengakui bahwa teknologi hilirisasi batubara telah tersedia, tetapi penerapannya di Indonesia belum sepenuhnya teruji. "Selain itu, sebagian besar teknologi tersebut masih bergantung pada lisensi luar negeri, yang berdampak pada tingginya biaya investasi dan risiko transfer teknologi," katanya. Lain halnya dengan batubara, dua mineral penting yang banyak dihasilkan dari tanah Indonesia yaitu nikel dan bauksit menghadapi permasalahan berbeda. Hilirisasi nikel meledak sejak pemerintah menerapkan larangan ekspor bijih nikel sudah berlaku sejak 1 Januari 2020. Sementara larangan ekspor bijih bauksit yang mulai berlaku sejak 10 Juni 2023, ternyata tidak mendorong perkembangan smelter bauksit secepat smelter nikel. Nikel Indonesia, masih berjuang dengan kampanye negatif dirty nickel. Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey kampanye negatif dirty nickel tersebut tidak adil. Sebab, yang tengah melakukan hilirisasi bukan saja nikel tetapi juga industri manufaktur lain.