KONTAN.CO.ID - NEW DELHI. Urusan Amerika Serikat dengan China masih belum selesai soal perang dagang di antara kedua negara. Kini, negeri Paman Sam malah diprediksi akan memancing perang tarif dengan India. Dilansir dari
CNN, Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross dijadwalkan mengunjungi India untuk pembicaraan pada hari Kamis ini untuk membicarakan perdagangan kedua negara yang nilainya mencapai US$ 125 miliar per tahun. Namun ia membatalkan perjalanannya karena masalah teknis dan faktor cuaca. "Karena cuaca buruk dan masalah teknis yang menyebabkan pembatalan penerbangannya, Menteri Ross menyesal dia tidak lagi dapat menghadiri pertemuan secara langsung," kata juru bicara Departemen Perdagangan.
"Menteri Ross bermaksud untuk berpartisipasi dalam pertemuan jarak jauh sekaligus berterima kasih kepada sektor swasta dan pemerintah India sebagai tuan rumah atas kemitraan berkelanjutan," lanjut pernyataan tersebut. Washington sepertinya memang berupaya meredakan ketegangan dengan New Delhi yang telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir ketika jargon "Buy American, Hire American" disuarakan Presiden AS Donald Trump. Namun slogan ini berbenturan dengan kampanye Perdana Menteri India Narendra Modi yakni "Make in India". Trump telah berulang kali mengecam bea masuk India untuk barang-barang dari AS. Terutama pada produk-produk seperti sepeda motor Harley-Davidson (HOG). Sebagai gantinya, pada bulan lalu, Trump membidik tarif 150% untuk wiski impor dari India. "India mengenakan tarif yang sangat tinggi. Mereka menagih banyak tarif kepada kami," kata Trump. Pemerintah AS sekarang mungkin tengah bersiap untuk segala kemungkinan. Para pejabat AS sedang mempertimbangkan untuk mengeluarkan India dari program yang memungkinkannya bisa mengekspor tanpa tarif untuk sejumlah barang seperti perhiasan, suku cadang kendaraan dan motor listrik yang nilainya mencapai US$ 5,6 miliar. Program Generalized System of Preferences (GSP) memberi 121 negara berkembang akses yang lebih mudah ke konsumen AS. Menurut data pemerintah AS, India adalah penerima manfaat terbesar pada tahun 2017. Tahun lalu Washington mengumumkan bahwa mereka akan meninjau kelayakan India untuk program GSP, setelah keluhan dari peternak sapi perah dan produsen alat kesehatan di AS bahwa tarif India telah merusak pasar ekspor mereka. Aksi ini diperkirakan akan jadi salah satu cara Trump untuk mengurangi defisit perdagangan Amerika. India mengekspor barang-barang bernilai lebih dari US$ 50 miliar ke Amerika Serikat tahun lalu dan mengimpor produk-produk AS bernilai sekitar US$ 30 miliar. Di sisi lain, Modi ingin menarik lebih banyak pabrikan asing ke India. "Penghapusan konsesi perdagangan ke AS dapat berimplikasi lebih lanjut seperti mengurangi daya tarik India sebagai pusat manufaktur," kata Jason Yek, analis risiko negara di perusahaan riset Fitch Solutions.
"Ini bisa membebani arus masuk investasi asing langsung selama beberapa tahun mendatang," lanjutnya. "Saya pikir sebagian dari rencana itu dapat ditafsirkan sebagai strategi negosiasi," kata Rajat Kathuria, Direktur Lembaga Penelitian Hubungan Ekonomi Internasional. Tetapi pemerintah AS mungkin ada benarnya, tambahnya, mengingat India sekarang adalah ekonomi utama yang paling cepat berkembang di dunia. "Kami telah berkembang dari ambang batas negara berkembang yang memberi kami akses bersyarat ke sistem itu," katanya. "Kita mungkin bisa mendapatkannya sekali lagi, atau beberapa kali lagi, tapi kurasa tulisannya ada di dinding," kata Kathuria. Sementara itu GSP bukan satu-satunya sumber ketegangan kedua negara. Pasalnya India adalah salah satu dari beberapa negara yang terkena tarif baja dan aluminium ke AS pada tahun lalu. India mengumumkan akan mengenakan tarifnya sendiri atas barang-barang AS senilai US$ 240 juta sebagai pembalasan, meski keputusan itu belum diberlakukan.
Editor: Tendi Mahadi