KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral(ESDM) siap menerapkan sistem penghitungan dan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) secara
online atau e-PNBP. Sistem ini secara efektif diimplementasikan per 1 Maret 2019. Direktur Penerimaan Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Jonson Pakpahan mengatakan, penggunaan e-PNBP ini diharapkan bisa semakin mengoptimalkan penerimaan negara dari subsektor minerba. Jonson meyakinkan, sistem berbasis online ini memiliki keunggulan dari sistem pelaporan dan pembayaran sebelumnya. "e-PNBP ini untuk optimalisasi (penerimaan negara). Dengan ini, potensi tunggakan dan kecurangan bisa tereduksi," kata Jonson, di Jakarta, Kamis (28/2).
Jonson menjelaskan, dalam sistem sebelumnya, yakni Simponi, perusahaan menyetor kewajiban berdasarkan self assessment. Sehingga, kepatuhan perusahaan tidak dapat terpantau dengan baik, dimana hasil audit instansi pemeriksa menyatakan 80% kurang bayar. Melalui e-PNBP, pembayaran dilakukan secara online dan bisa dipantau secara realtime. Jonson bilang, melalui e-PNBP ini, verifikasi dilakukan pada setiap pengapalan dengan memeriksa volume dan spesifikasi kalori komoditas minerba yang dikapalkan. Apabila perusahaan belum membayar kewajibannya, maka surveyor tidak akan mengeluarkan Laporan Hasil Verifikasi (LHV). "(Jika tidak sesuai e-PNBP) seharusnya surveyor tidak mengelarkan LHV. Surveyor itu harus mengeluarkan LHV supaya kapal itu bisa berlayar," jelas Jonson. Adapun, e-PNBP ini akan terintegrasi dengan Minerba Online Monitoring System (MOMS) yang telah diperkenalkan pada 2 November 2018 lalu. Sementara, sebenarnya e-PNBP ini telah mulai dijalankan sejak Agustus tahun lalu, namun pada masa sosialisasi itu, perusahaan masih bisa melakukan pembayaran melalui sistem Simponi. Tapi per 1 Maret 2019 ini, semua perusahaan tambang pemegang izin pusat dan daerah wajib masuk ke dalam sistem MOMS dan melakukan transaksi melalui e-PNBP. "Besok itu (per 1 Maret 2019), semua harus lewat e-PNBP, Simponi nggak bisa lagi," ungkapnya. Jonson memaparkan, sejak masa sosialisasi hingga data yang terkumpul pada 25 Februari 2019, sudah ada 1.087 perusahaan yang terdaftar. Dari jumlah itu, ada 5.175 transaksi yang dilakukan dengan nilai PNBP sebesar Rp. 2,75 triliun. Sebagai informasi, pemerintah pun terus melakukan penataan perizinan. Jonson mengaku, proses penataan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dalam lima tahun terakhir membawa hasil positf terhadap peneriman negara. Berdasarkan data yang dikemukakan Jonson, Per Desember 2014, tercatat ada 10.643 IUP. Lalu menyusut menjadi 10.322 IUP pada Desember 2015 dan setahun berselang menjadi 9.296 IUP. Pada Desember 2017, jumlahnya kembali berkurang menjadi 8.628 IUP dan menyusut lagi menjadi 5.670 IUP pada Desember 2018. Lalu, per 1 Februari 2019, secara nasional ada 3.897 IUP mineral logam dan batubara. Dari jumlah itu, 3.355 IUP berstatus C&C dan 542 IUP berstatus non C&C. "Tahun 2014 hingga 2016, PNBP ada di kisaran Rp. 27,15 triliun hingga Rp. 35,46 triliun. Tahun kemarin, PNBP tembus Rp. 50 triliun," terangnya. Alhasil, Jonson menilai bahwa naiknya penerimaan negara beriringan dengan adanya penataan perizinan dan tingkat kepatuhan perusahaan yang meningkat, serta didorong oleh harga komoditas yang baik.
Hingga akhir pekan lalu, ia menyebut bahwa PNBP minerba sudah mencapai Rp. 6,8 triliun. Jumlah itu setara dengan 15,74% dari target tahun ini yang dipatok diangka 43,26 triliun. Dengan target senilai itu, Jonson mengatakan bahwa pihaknya memasang target rata-rata sebesar Rp 3,3 triliun hingga Rp 3,7 triliun PNBP yang masuk setiap bulannya. Asal tahu saja, sekitar 80% dari PNBP minerba disumbang dari komoditas Batubara. Sehingga, target PNBP minerba tahun ini ditentukan dengan memperhitungkan asumsi harga batubara acuan (HBA), kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS), serta produksi batubara. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .