KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Semangat dan tekad pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak boleh saja besar. Namun apa daya, semangat tekad yang besar tersebut tak sebanding dengan hasil yang didapat. Tak percaya? Tengok saja realisasi penerimaan pajak hingga Oktober 2019 yang masih jauh panggang dari api. Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak dalam 10 bulan tahun ini baru mencapai Rp 1.018,47 triliun atau 64,56% dari target APBN 2019 yang sebesar Rp 1.577 triliun. Penerimaan pajak itu tumbuh 0,23%
year on year (YoY), lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan pajak 2018 di periode sama yang tumbuh sebesar 16%. Suramnya penerimaan pajak itu sejalan dengan kinerja kantor wilayah (Kanwil) Pajak yang banyak berada di zona merah.
Data Ditjen Pajak menyebutkan, 10 dari 35 Kanwil Pajak berada di zona merah. Hingga Oktober 2019, realisasi penerimaan mereka, tak sampai 70% dari target. Bahkan, dua di antaranya merupakan Kanwil andalan Ditjen Pajak.
Pertama, Kanwil Jakarta Khusus yang realisasinya baru mencapai 67,43% dari target Rp 247,6 triliun atau Rp 166,73 triliun.
Kedua, Kanwil Wajib Pajak Besar yang baru terealisasi 61,32% dari target Rp 498,9 triliun, setara dengan Rp 305,92 triliun. Melihat capaian tersebut, tentu Ditjen Pajak belum bisa bernafas lega. Tantangan masih cukup besar karena harus mengumpulkan penerimaan pajak sekitar Rp 500 triliun lagi untuk memenuhi proyeksi (
outlook) akhir tahun. “Jelas itu tantangan besar yang sangat luar biasa. Karena saat kondisi ekonomi lesu seperti ini, ada ekspektasi besar kepada kami,” kata Dirjen Pajak, Suryo Utomo. Suryo mengakui, tidak mudah menggenjot penerimaan pajak di tengah kondisi perekonomian global yang tak menentu seperti sekarang ini. Perang dagang yang belum menemukan titik temu yang positif memberikan tekanan ke iklim usaha di dalam negeri. Kondisi itu mempengaruhi aktivitas ekspor dan impor dalam negeri yang ikut menurun secara signifikan. Hal tersebut menyebabkan PPh dan PPn impor yang seharusnya berkontribusi hampir 18% dari total penerimaan pajak dan ditargetkan dapat tumbuh 23% pada APBN 2019 kini pertumbuhannya justru terkontraksi 7%.“Kondisi eksternal itu berdampak kepada melemahnya ekspor kita,” ujar Suryo. Selain berdampak kepada aktivitas ekspor dan impor, kuatnya tekanan global juga berdampak kepada anjloknya harga komoditas. Meskipun sudah ada perbaikan pada harga komoditas sawit, namun dampaknya belum terlalu dirasakan karena kenaikan juga belum terlalu besar. Akibatnya, pajak dari sektor industri pengolahan dan pertambangan yang menjadi penyumbang terbesar, ikut mengalami penurun. Ambil contoh pajak pertambangan. Sampai akhir Oktober 2019, realisasi penerimaan pajak dari sektor pertambangan hanya Rp 47,39 triliun atau turun 22,1% yoy. Padahal, pada periode sama tahun lalu, penerimaan pajak dari pertambangan mampu tumbuh 66,5% yoy. Begitu juga dengan realisasi penerimaan sektor manufaktur yang tercatat sebesar Rp 277,33 triliun per Oktober 2019 lalu. Pencapaian tersebut turun 3,5% yoy dibandingkan dengan Oktober tahun lalu yang mencatatkan pertumbuhan sebesar Rp 12,3% yoy. Selain dipengaruhi kondisi eksternal, melempemnya penerimaan pajak juga dipengaruhi kebijakan restitusi atau pengembalian pajak yang dipercepat. Sepanjang Januari–Oktober 2019, restitusi pajak mencapai Rp 133 triliun atau naik 12,4% dari periode serupa tahun lalu. Melambatnya penerimaan pajak kemungkinan besar bakal berlanjut hingga tahun depan. “Melihat pertumbuhan ekonomi yang kemungkinan masih lesu dan kondisi global yang serba tak menentu, ya nampaknya masih lemah,” ungkapnya. Menurut Suryo, suramnya penerimaan pajak tahun ini sudah diprediksi pemerintah sejak awal. Namun masih ada harapan penerimaan meningkat pada akhir tahun. “Kita lihat saja nanti, kami optimistis biasanya di Desember itu lonjakan sangat besar,” ujarnya. Kendati demikian, lonjakan penerimaan di akhir tahun diprediksi tidak akan mampu menutup target penerimaan pajak tahun ini. Kemkeu sendiri sudah angkat tangan dan menyebut
shortfall pajak 2019 sekitar Rp 140 triliun.
Shortfall adalah kondisi ketika realisasi penerimaan pajak lebih rendah dari target yang ditetapkan APBN. Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Yon Arsal mengungkapkan, pihaknya akan mengupayakan
shortfall pajak tidak melebihi Rp 200 triliun. “Semoga tidak sebesar akumulasi dua tahun terakhir yang mencapai Rp 240 triliun,” katanya. Pada 2017 dan 2018
shortfall pajak masing-masing sebesar Rp 127,2 triliun dan Rp 110, 78 triliun. Makin dalam DDTC Fiscal Research dalam Working Paper terbaru bertajuk ‘Metode dan Teknik Proyeksi Penerimaan Pajak: Panduan dan Aplikasi’, memproyeksi, bahwa dalam kondisi normal penerimaan pajak bisa mencapai 86,3% (pesimis) hingga 88,6% (optimis) dari target. Dengan demikian, realisasi penerimaan pajak diproyeksi akan berada di rentang Rp 1.361 triliun hingga Rp 1.398 triliun. Hal ini berarti
shortfall penerimaan pajak bisa mencapai Rp 179 triliun hingga Rp 216 triliun, lebih besar dari
outlook pemerintah yang sebesar Rp 140 triliun. Namun, kondisinya akan lebih buruk di tengah perlambatan ekonomi global. Kondisi tersebut semakin menekan penerimaan pajak dari sisi impor, sehingga ada risiko dari sisi penerimaan pajak korporasi. Apalagi, data PDB Indonesia per kuartal III menunjukkan adanya perlambatan signifikan dari sisi investasi. “Kondisi itu sangat berdampak ke domestik dan itu menjadi penyebab utamanya,” kata Pengamat Perpajakan DDTC, Bawono Kristiaji. Dalam kondisi tersebut, DDTC Fiscal Research memproyeksi, penerimaan pajak hanya 83,6% atau Rp 1.318 triliun. Dengan demikian,
shortfall berisiko makin dalam hingga mencapai Rp 259 triliun. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy memprediksi, tren
shortfall pajak bakal berlanjut hingga tahun depan. Ia menjelaskan, bahwa perlambatan penerimaan pajak disebabkan oleh kontraksi industri manufaktur di sepanjang 2019. Selama ini, industri manufaktur menjadi salah satu sektor penyumbang terbesar terhadap penerimaan pajak. “Tren perlambatan penerimaan pajak bakal terus terjadi sampai tahun depan. Kondisi ekonomi global masih buruk juga. Melihat indikasi ini, defisit anggaran (APBN) diperkirakan bakal melebar sampai Rp 300 triliun atau setara 2%–2,1% dari produk domestik bruto (PDB),” jelas Yusuf. Menurut Yusuf, pajak merupakan gambaran dari pertumbuhan ekonomi. Semakin baik pertumbuhan ekonomi sebuah negara, maka penerimaan pajaknya juga baik. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Tauhid memperkirakan, pertumbuhan ekonomi tahun ini akan meleset jauh dari target APBN sebesar 5,3%. Ia memperkirakan, ekonomi sampai akhir tahun hanya akan tumbuh 5% dan akan semakin menambah
shortfall penerimaan negara. Berbagai insentif pajak diobral pemerintah untuk memperkuat kinerja investasi juga bakal membebani APBN Indonesia dalam jangka pendek. “Itu semua akan menguras penerimaan pajak,” cetusnya. Pada tahun ini saja, pemerintah berpotensi kehilangan penerimaan pajak sebesar Rp 180 triliun gara-gara insentif
tax holiday dan
tax allowance. Maka itu, ia pun memperkirakan,
shortfall pajak tahun ini bisa mencapai Rp 250 triliun. Akibatnya, defisit anggaran berpotensi melebar. “Saya perkirakan hingga akhir tahun akan terjadi pelebaran defisit anggaran hingga 2,2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB),” ujar Tauhid. Prediksi tersebut sesuai dengan proyeksi Kementerian Keuangan (Kemkeu) yang memperkirakan defisit APBN 2019 berada dalam rentang 2% sampai 2,2% terhadap PDB. Prediksi ini naik dari target yang ditetapkan pemerintah pada awal tahun, sebesar 1,84% dari PDB. Tauhid memprediksi, pemerintah bakal menggali utang lebih dalam untuk mengganjal pelebaran defisit. Pasalnya, tidak ada alternatif lain bagi pemerintah guna menambal defisit anggaran. “Pajak turun, sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga lemah. Maka, potensi utangnya yang akan semakin besar,” ucapnya. Akibat beban utang yang terus meningkat, ia memperkirakan beban bunga utang tahun ini bisa tembus hingga Rp 380 triliun. Hal itu sejalan dengan gencarnya pemerintah menerbitkan instrumen Surat Berharga Negara (SBN) Ritel sebagai salah satu strategi pembiayaan anggaran. Menurut dia, kondisi itu bakal berlanjut hingga tahun depan. Dari sisi eksternal, menurut dia, sejumlah negara mitra dagang utama RI masih akan mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi. Antara lain Jepang yang diprediksi hanya mampu tumbuh di bawah 1% dan China di bawah 5%. Melihat kondisi itu, Tauhid mewanti-wanti agar pemerintah tidak mematok target pajak 2020 terlampau tinggi. Menurut dia, target yang ideal berada di kisaran Rp 1.700 triliun. Menurutnya, target penerimaan pajak yang terlampau tinggi malah berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat Wajib Pajak terhadap pemerintah, terutama terhadap Ditjen Pajak. Apalagi, realisasi penerimaan pajak yang ditetapkan pemerintah selalu meleset dari target sejak tahun 2008. “Menjaga kepercayaan masyarakat terhadap DJP merupakan hal utama yang harus dibangun, termasuk kepercayaan masyarakat atas penentuan target pajak,” jelas Tauhid. Pendapat sama juga disampaikan Sarman Simanjorang, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta. Menurutnya, target penerimaan pajak tahun ini terlalu tinggi dan sangat ambisius di tengah kelesuan ekonomi.
Sarman bilang, boleh saja menargetkan penerimaan pajak tinggi bila pertumbuhan ekonomi juga tinggi. Tapi faktanya, dalam tiga tahun terakhir pertumbuhan ekonomi selalu di bawah target pemerintah. “Harusnya target pajak disesuaikan, itu sebabnya target pajak tak pernah tercapai,” ungkapnya. Menurut dia, saat ini hampir semua sektor usaha mengalami kelesuan di tengah pelambatan ekonomi global. Kondisi itu jelas berdampak kepada setoran pajak yang berasal kalangan dunia usaha. Ia mencontohkan sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang sekarang banyak mengalami penurunan order dari
buyer di luar negeri. “Itu baru satu contoh sektor usaha. Yang jelas omzet pengusaha turun kok, tentu setoran pajak juga turun,” ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri