Si Kuning Melonjak, Si Hitam Malah Terjerembab



JAKARTA. Si kuning kemilau alias emas mulai mengumpulkan nyawa untuk bangkit dari serangkaian koreksi yang terjadi beberapa waktu sebelumnya. Pada penutupan perdagangan Jumat lalu di London Metal Exchange (LME), emas berhasil rebound ke posisi US$ 734,75 per troy ounce. Padahal, sehari sebelumnya (23/10), harga emas sempat menyentuh level terendahnya sepanjang tahun yang diperdagangkan seharga US$ 698,54 per troy ounce. Sepertinya, minat beli terhadap aset-aset safe-haven ini mulai kembali.  Yang aneh, harga emas hitam alias minyak mentah sebagai penyokong utama harga emas justru terjerembap lebih dalam. Pada penutupan di bursa New York Stock Exchange, kontrak harga minyak jenis light sweet untuk pengiriman bulan Desember anjlok US$ 64,15 per barel. Angka tersebut merupakan koreksi paling dalam sejak enam belas bulan terakhir.

Penyebabnya, adanya penurunan permintaan dari Amerika Serikat (AS) sebagai negara  konsumsi minyak terbesar di dunia. Selain itu, negara-negara penghasil minyak yang tergabung dalam OPEC, pada akhir pekan lalu juga memutuskan untuk memangkas kuota produksinya 1,5 juta barel per hari. Rupanya, upaya OPEC untuk menstabilkan harga minyak dunia dengan melakukan pemangkasan kuota produksi minyak kembali mendongkrak harga emas. "Jika permintaan dunia terus menurun, maka harga minyak dapat kembali mengulang sejarah yaitu ditransaksikan di bawah US$ 10 per barel," kata Erwin Purnomo, analis PT Valbury Asia Futures kepada KONTAN semalam.

Tentu saja, lanjut Erwin, hal ini mengingatkan pada kejadian di era 1990-an pada saat krisis ekonomi melanda Asia. "Jika ini benar-benar terjadi, kemungkinan besar harga emas bakal terseret lebih dalam lagi sekitar US$ 600an per troy ounce," tukas Erwin. Goei Siauw Hong, Konsultan Manajemen Risiko meramalkan, hingga akhir tahun, harga minyak bisa menembus US$ 40 hingga US$ 50 per barel. Penyebabnya, selain permintaan yang turun, saat ini sudah banyak penelitian-penelitian yang berhasil menemukan bahan bakar substitusi pengganti minyak. Meskipun demikian, ia berpendapat bahwa negara penghasil minyak seperti Iran dan negara Arab lainnya tak akan membiarkan harga minyak terus jatuh. Alasannya adalah pemasukan negara tersebut hanya berasal dari minyak saja.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie