Sosok Septian Dwi Cahyo sangat lekat dengan dunia seni pantomim. Septian menggeluti seni bercerita tanpa suara ini sejak usia sembilan tahun. Minatnya terhadap seni pantomim tumbuh setelah menonton pertunjukan pantomim di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. "Pertunjukan itu menjadi titik awal kecintaan saya pada seni pantomim," katanya.Sekitar tahun 1984, Septian kemudian belajar seni pantomim kepada dua mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ), yakni Sena A. Utoyo dan Didi Petet.Septian ternyata tidak salah memilih guru. Baik Sena A. Utoyo maupun Didi Petet belakangan dikenal sebagai maestro pantomim Indonesia.“Selain belajar sama Mas Sena dan Mas Didi, waktu itu saya juga selingi dengan masuk dari sanggar ke sanggar,” ujar pria yang namanya melejit lewat sinetron Rumah Masa Depan di era 1984 - 1990 ini.Untuk lebih mengembangkan seni pantomim, akhirnya Septian mendirikan sanggar seni bernama Septian Dwi Cahyo Studio (SDCS) di Jakarta pada 1999 lalu. Sanggar ini menjadi tempat berkumpulnya komunitas seniman pantomim Indonesia yang dinamai Indomime. “Jumlahnya banyak, ratusan seniman,” ujar pria berpendidikan terakhir sekolah menengah atas (SMA) ini.Tidak hanya tempat berkumpul seniman pantomim, sanggar juga menjadi tempat pendidikan seni manusia patung, pesulap, penari hingga stand up comedy. Tujuan pendirian sanggar ini juga sebagai wadah mencetak seniman muda Indonesia. SDCS menerima siswa mulai usia tiga tahun.Menurut Septian, butuh waktu sekitar tiga bulan untuk menguasai teknik dasar gerakan pantomim, seperti sakit perut, mengelus-elus kepala dan ekspresi dasar lainnya.Selain tempat belajar, SDCS juga menjadi jalur masuk bagi para seniman pantomim Indonesia untuk mendapatkan order tampil sebagai pantomimer (pelaku seni pantomim) maupun manusia patung. Untuk pentas pertunjukan ini, Septian menerapkan sistem bagi hasil. Di mana seniman yang pentas mendapat bagian 80% dari biaya sewa pertunjukan. Sedangkan sisanya masuk ke kas SDCS. “Tarifnya beragam, mulai ratusan ribu sampai Rp 10 juta per sekali tampil. Semua tergantung dari properti, tingkat kesulitan dan durasi yang diinginkan klien,” ungkap Septian. Dalam sebulan, SDCS meraup omzet Rp 100 juta.
Si manusia tanpa kata beromzet ratusan juta
Sosok Septian Dwi Cahyo sangat lekat dengan dunia seni pantomim. Septian menggeluti seni bercerita tanpa suara ini sejak usia sembilan tahun. Minatnya terhadap seni pantomim tumbuh setelah menonton pertunjukan pantomim di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. "Pertunjukan itu menjadi titik awal kecintaan saya pada seni pantomim," katanya.Sekitar tahun 1984, Septian kemudian belajar seni pantomim kepada dua mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ), yakni Sena A. Utoyo dan Didi Petet.Septian ternyata tidak salah memilih guru. Baik Sena A. Utoyo maupun Didi Petet belakangan dikenal sebagai maestro pantomim Indonesia.“Selain belajar sama Mas Sena dan Mas Didi, waktu itu saya juga selingi dengan masuk dari sanggar ke sanggar,” ujar pria yang namanya melejit lewat sinetron Rumah Masa Depan di era 1984 - 1990 ini.Untuk lebih mengembangkan seni pantomim, akhirnya Septian mendirikan sanggar seni bernama Septian Dwi Cahyo Studio (SDCS) di Jakarta pada 1999 lalu. Sanggar ini menjadi tempat berkumpulnya komunitas seniman pantomim Indonesia yang dinamai Indomime. “Jumlahnya banyak, ratusan seniman,” ujar pria berpendidikan terakhir sekolah menengah atas (SMA) ini.Tidak hanya tempat berkumpul seniman pantomim, sanggar juga menjadi tempat pendidikan seni manusia patung, pesulap, penari hingga stand up comedy. Tujuan pendirian sanggar ini juga sebagai wadah mencetak seniman muda Indonesia. SDCS menerima siswa mulai usia tiga tahun.Menurut Septian, butuh waktu sekitar tiga bulan untuk menguasai teknik dasar gerakan pantomim, seperti sakit perut, mengelus-elus kepala dan ekspresi dasar lainnya.Selain tempat belajar, SDCS juga menjadi jalur masuk bagi para seniman pantomim Indonesia untuk mendapatkan order tampil sebagai pantomimer (pelaku seni pantomim) maupun manusia patung. Untuk pentas pertunjukan ini, Septian menerapkan sistem bagi hasil. Di mana seniman yang pentas mendapat bagian 80% dari biaya sewa pertunjukan. Sedangkan sisanya masuk ke kas SDCS. “Tarifnya beragam, mulai ratusan ribu sampai Rp 10 juta per sekali tampil. Semua tergantung dari properti, tingkat kesulitan dan durasi yang diinginkan klien,” ungkap Septian. Dalam sebulan, SDCS meraup omzet Rp 100 juta.