JAKARTA. Menutup Juli, bursa China belum menunjukkan tanda-tanda berhenti bearish. Ditutup dengan penurunan 1,13% pada Jumat lalu (31/7), Shanghai Composite Index merosot 14% sepanjang Juli. Bukan hanya menjadi penurunan bulanan terdalam sejak Agustus 2009, ini juga menjadi penurunan terparah di antara 93 indeks global lainnya. Sejak mencapai rekor 8 Juni, Indeks Shanghai terkoreksi sekitar 30%. Ada apa dengan China? Bursa China sejak Juli 2014 hingga Juni 2015, reli sampai 150%. Pasar menilai, kenaikan ini tidak berdasarkan fundamental lantaran
price to earning Indeks (PE) bursa China sempat menyentuh 84 kali, berdasarkan data
Bloomberg.
Investor mencari segala sumber untuk menanamkan duit di saham, termasuk lewat utang. Fasilitas margin, utang yang diberikan pada investor retail untuk membeli saham, naik lima kali lipat dalam 12 bulan. Oiya, sekitar 80% investor di bursa China merupakan individu. Ketika bursa mencapai puncak Juni lalu, pasar masih bernafsu. Sekitar 1 juta akun dibuka setiap minggunya. Utang tak hanya dicari dari pihak broker resmi tapi juga penyedia utang abal-abal atau yang dikenal dengan
shadow banking. Fasilitas utang yang mengalir ke lantai bursa mencapai US$ 9,8 triliun. Ketika pasar di atas kertas
bullish, ekonomi riil yang melambat China, terlihat kontras. Pertumbuhan ekonomi China kuartal I-2015 di akhir Maret hanya tumbuh 7%, laju ekonomi paling pelan dalam 6 tahun terakhir, diikuti pertumbuhan 7% juga di kuartal II. Kemarin, Sabtu (1/8), pemerintah China merilis data yang menambah kegelisahan pasar. Indikator kesehatan industri, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Juli merosot ke level 50,1, dari posisi bulan sebelumnya 50,2. Ini artinya, manufaktur China bulan Juli nyaris tak berekspansi. Pelaku pasar meninggalkan bursa dengan kekhawatiran akan ekonomi China. Sementara itu, regulator China terus memperketat fasilitas margin. Puncaknya pada 12 Juni ketika regulator kembali memperkecil batas pinjaman dan mempertegas sanksi untuk broker yang tak mengacuhkan prinsip kehati-hatian. Bak menyiram air dingin di atas api, bursa China merosot terus sejak saat itu. Meski pemerintah sempat melakukan intervensi perdana di bursa saham pada 18 Juli, pasar China kembali tumbang. Senin lalu (27/7), penurunannya sampai 8,5% dalam sehari.
Kejatuhan Wall Street 1929 Di sektor riil, China menghadapi dua masalah laten: bubble sektor properti dan jeratan utang pemerintah daerah senilai 25 triliun yuan (atau US$ 4 triliun). Pelemahan PMI di bulan Juli memperlihatkan, langkah pemerintah China memangkas bunga dan upaya pembiayaan terhadap pemerintah daerah belum memulihkan ekonomi riil, meski terlihat tetap stabil. Analis kondang Tom DeMark, seperti dikutip
Bloomberg memperkirakan, penurunan saham di China masih berlangsung tiga pekan lagi. Dia membandingkan kondisi pasar China dengan kejatuhan Wall Street tahun 1929. Langkah pemerintah China Sejak bursa merosot, pemerintah China sudah mengambil langkah. Mulai dari pemangkasan bunga 0,25% pada akhir Juni sampai menyiapkan US$ 480 miliar untuk lembaga keuangan untuk membangkitkan pasar, termasuk China Securities Finance Corp (CSF), BUMN lokal yang mendanai fasilitas margin di perusahaan broker. Regulator juga melarang pemegang saham mayoritas menjual saham. Lebih dari 1.400 korporasi boleh menghentikan sementara perdagangan untuk menghindari kejatuhan harga lebih dalam. Selain itu, China Security Regulatory Commission (CSRC) bilang, akan menyelidiki aksi penjualan besar saham. Seorang sumber pada
Reuters mengatakan, Sabtu (1/8), pemerintah China akan memperkuat sisi sektor riil lantaran khawatir kehilangan momentum pertumbuhan dan tidak bisa mengontrol pelambatan ekonomi yang terjadi. "Kebijakan fiskal akan menjadi lebih kuat, investasi infrastruktur akan dipercepat, dan kebijakan moneter akan lebih fleksibel," kata ekonom think tank yang kerap terlibat dalam pembuatan kebijakan. Tak bisa dilewatkan, langkah pemerintah China menggenggam 30,34% saham di Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Badan yang mengucurkan pembiayaan ke Asia ini digadang-gadang menjadi pesaing Bank Dunia. Dengan kepemilikan tersebut, China bakal lebih mudah mempengaruhi arus dana di Asia. Pemerintah Indonesia Pemerintah Indonesia juga sudah menyiapkan sejumlah strategi. Pekan ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku, pemerintah tengah siaga satu dari kemungkinan jatuhnya ekonomi China. Kalla bilang, pemerintah mewaspadai dampak kejatuhan pasar saham China terhadap industrinya, dan efek lanjutannya bagi Indonesia.
Beberapa langkah untuk memperkuat fundamental Indonesia disiapkan. Misalnya, pembebasan visa bagi 45 negara untuk mendongkrak devisa dan menekan defisit transaksi berjalan. Ada juga keringanan pajak untuk meningkatkan investasi dan penerimaan negara. Ekonom BCA David Sumual mengingatkan, Indonesia perlu mewaspadai potensi China memperlemah yuan demi memperkuat ekonominya. Tapi, pemerintah harus tetap pruden menyusun anggaran, kebijakan fiskal dan moneter. Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistyaningsih juga melihat tak kalah pentingnya untuk menjaga nilai tukar rupiah. Dalam hitungannya, jika pertumbuhan ekonomi China turun 1%, ekonomi Indonesia bisa turun 0,4%-0,6%. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia