JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang perdana gugatan uji materi Undang-Undang Ormas, Rabu (26/7). Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, ada dua pihak yang mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Ormas, yakni atas nama Yusril Ihza Mahendra dengan nomor perkara 39/PUU-XV/2017, dan Afriady Putra dengan nomor perkara 38/PUU-XV/2017. Sidang panel tersebut akan digelar di Ruang Sidang Utama, pada pukul 10.30 WIB.
"Pemohon menguji secara formil pembentukan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan), apakah memenuhi hal ihwal kegentingan yang mememaksa, seperti telah pula ada rambu-rambunya dalam putusan MK," kata Fajar saat dihubungi, Rabu. "Selain itu diajukan uji materiil terhadap sejumlah norma dalam Perppu," tambah Fajar. Dalam sidang nanti, kata Fajar, hakim konstitusi akan mendengarkan permohonan pemohon sekaligus memberikan nasihat untuk perbaikan permohonan kepada pemohon. Permohonan yang sudah diperbaiki akan dibacakan pada sidang selanjutnya. Yusril sebelumnya mengkritik beberapa pasal yang bersifat karet, tumpang tindih dengan peraturan hukum lain dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Dia mencontohkan Pasal 59 Ayat (4) sebagai salah satu pasal yang bersifat karet. Pada bagian penjelasan Pasal 59 Ayat (4) Huruf c menyebutkan, "Ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945." Akan tetapi, menurut Yusril, Perppu tersebut tidak menjelaskan secara detil mengenai penafsiran paham yang bertentangan dengan Pancasila. Selain itu, penafsiran sebuah paham tanpa melalui pengadilan dinilainya akan memunculkan tafsir tunggal dari pemerintah. "Pasal ini karet karena secara singkat mengatur paham seperti apa yang bertentangan dengan Pancasila. Dalam bagian penjelasan tidak mengatur norma apa pun," kata Yusril. "Tafsir anti-Pancasila bisa berbeda antara satu rezim dengan rezim yang lain. Pemerintah bisa semaunya menafsirkan," ujar dia. Yusril juga menyoroti Pasal 59 Ayat (4) Huruf a mengenai larangan ormas melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan. Dia menegaskan, ketentuan dalam pasal tersebut juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan sanksi hukum yang berbeda. Dengan begitu, kata Yusril, tumpang tindih peraturan akan menimbulkan ketidakpastian hukum. "Pasal 59 mengenai larangan tindakan permusuhan SARA itu sudah diatur dalam KUHP, tapi sanksinya berbeda. Jadi mau pasal mana yang akan dipakai. Hal ini menunjukkan tidak ada kepastian hukum," kata Yusril. Selain itu, Yusril juga mengkritik mengenai penerapan ketentuan pidana dalam Pasal 82A.
Pasal itu menyatakan bahwa anggota atau pengurus ormas bisa dipidana penjara jika melanggar ketentuan perppu. Sebelumnya, ketentuan mengenai penerapan sanksi pidana tidak diatur dalam UU Ormas. "Ini kan tidak jelas. Di Pasal 59 mengatur hal-hal yang dilarang dilakukan oleh organisasi, tapi di Pasal 82A mengatur pidana yang menghukum orang," kata Yusril. (Fachri Fachrudin) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia