JAKARTA. Sentimen global menyebabkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (
IHSG) beberapa waktu terakhir bergerak fluktuatif. Kendati demikian, indeks sempat bertengger di posisi tertingginya tahun ini di level 4.224 yang tercipta pada 3 Mei 2012 lalu. Namun, badai krisis utang Eropa juga sempat menyapu
IHSG hingga terjungkal ke level 3.654,582 yang terjadi pada 4 Juni 2012. Hasil wawancara KONTAN dengan sejumlah analis menunjukkan, perkembangan ekonomi di Eropa masih jauh dari kata usai. Oleh sebab itu, untuk jangka pendek,
IHSG masih akan tertekan. Menurut Satrio Utomo, Kepala Riset Universal Broker,
IHSG masih dalam fase konsolidasi dan sudah berada dalam tren naik untuk jangka pendek. “Pengaruh regional cukup besar. Sayang sekali belum ada berita positif dari dalam negeri yang bisa mendongkrak
IHSG,” jelasnya. Tomi, demikian dia dipanggil, memprediksi rentang support
IHSG akan berada di kisaran 3.825-3.850. Nah, jika level
support ini ditembus, indeks akan anjlok lagi ke level 3.600-3.700.
Hal senada juga diungkapkan oleh Jeff Tan,
fund manager Sinarmas Asset Management. Menurut Jeff,
IHSG dalam jangka pendek akan mengalami volatilitas yang cukup tinggi. Dia mengemukakan alasan, beban psikologis dari pemangkasan
rating oleh perusahan pemeringkat Moody’s Investor Service terhadap 15 bank besar di Eropa maupun Amerika, memaksa institusi-institusi berbasis finansial, terutama di zona Eropa, untuk mengambil strategi defensif yang bertujuan memperkuat basis permodalan. Salah satu langkahnya yakni dengan melakukan repatriasi investasi yang sebelumnya tertanam di luar negeri, terutama negara-negara emerging market seperti Indonesia. “Oleh sebab itu, kami khawatir tren
capital outflow portofolio asing masih akan terus berlanjut beberapa minggu ke depan,” papar Jeff. Dirinya berharap, bank sentral Eropa dan the Fed akan mengambil langkah moneter yang jauh lebih agresif berupa
leveraging balance sheet (seperti LTRO atau QE) untuk mengantisipasi laju penurunan ekonomi global. Sementara itu, Pengamat Pasar Modal Jimmy Dimas Wahyu memprediksi,
IHSG dalam jangka pendek masih
sideways dengan range 3.600–3.900 hingga situasi tersebut berubah. Jimmy melihat, ada beberapa faktor yang menyebabkan indeks sulit bangkit. Pertama, krisis Eropa masih membutuhkan waktu lama untuk pemulihan. Kedua, kecemasan pelemahan ekonomi global khususnya dimulai dari AS dan China. Saat ini, China tengah berupaya keras meredam perekonomian agar tidak overheating. Ketiga, krisis Timur Tengah harus diwaspadai, khususnya AS - Iran, Syria, dan lainnya. Analisa berbeda diungkapkan Kepala Riset Henan Putihrai, Felix Sindhunata. Dia melihat, kondisi perekonomian di Eropa, Amerika Serikat (AS), dan China menjadi faktor kunci pergerakan pasar saham global, termasuk Indonesia. "Gabungan ketiga wilayah ini mewakili lebih dari 50% perekonomian global," kata dia. Henan Putihrai Securities memprediksi, Indeks Harga Saham Gabungan (
IHSG) berpotensi menembus lagi level 4.000 pada pekan ke empat Juni 2012. Level
support dan
resistance IHSG untuk sepekan ke depan diperkirakan berkisar 3.820-4.005. Felix juga bilang, inflasi bukan risiko utama dalam jangka pendek di pasar domestik, melainkan perkembangan krisis di Eropa yang harus terus dicermati dengan seksama. Namun, "Stabilitas nilai tukar rupiah menjadi isu penting apabila sentimen pasar memburuk," jelasnya. Hunting bluechips murah Dengan prediksi koreksi untuk
IHSG dalam jangka pendek, pergerakan saham-saham
bluechips sangat menarik dan tepat untuk dicermati. Menurut Tomi, berinvestasi pada saham-saham
bluechips dapat mengurangi risiko kerugian investor karena harganya yang stabil dan cenderung sulit terkoreksi. “Meski pada akhirnya terjadi koreksi, biasanya tak butuh waktu lama bagi saham unggulan ini untuk
rebound kembali,” jelas Tomi. Sekadar informasi, saham
bluechips merujuk kepada sekelompok saham unggulan yang ditransaksikan di bursa efek. Lantas, apa saja karakteristik saham bluechips? Berikut karakteristik saham-saham bluechips berdasarkan hasil riset KONTAN:
- Memiliki nilai kapitalisasi pasar yang besar (big cap)
Nilai kapitalisasi pasar merupakan perkali antara harga saham dengan jumlah saham perusahaan. Jika melihat pengelompokkan di Bursa Efek Indonesia, maka suatu saham termasuk dalam kelompok big cap jika nilai kapitalisasinya di atas Rp 1 triliun.
- Likuid atau mudah ditransaksikan
Artinya, jika seorang investor membutuhkan uang, maka saham tersebut bisa dicairkan menjadi uang sewaktu-waktu. Di sisi lain, banyak investor yang tertarik untuk membeli saham ini.
- Memiki kinerja keuangan yang tumbuh konsisten
Hal ini dapat dilihat dari perolehan laba bersih dan pendapatan perusahaan yang tumbuh stabil dari tahun ke tahun.
- Membagikan dividen setiap tahun
Dividen merupakan salah satu indikator tingkat kesehatan emiten. Jika emiten sehat, fundamentalnya selalu tumbuh dan manajemen cash flow yang bagus, maka emiten akan membagikan dividen setiap tahun.
- Memiliki arus dana yang baik
Maksudnya, jika hendak melakukan ekspansi usaha, emiten tidak menemui kendala mengenai pendanaan, baik secara internal maupun eksternal. Analis kerap kali menyarankan, jika investor berniat melakukan investasi di saham, sebaiknya memilih saham-saham
bluechips. Sebab, peminat untuk saham-saham berkapitalisasi besar ini cukup banyak sehingga memiliki likuiditas tinggi. Beberapa contoh saham
bluechips di BEI adalah saham PT Astra International Tbk (
ASII), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (
TLKM), PT Aneka Tambang Tbk (
ANTM), PT Pertambangan Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Bank BCA Tbk (
BBCA), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank BRI Tbk (
BBRI), dan masih banyak lagi yang lainnya. Nah, pada saat pasar terkoreksi, sejumlah saham
bluechips ikut tergerus karena saham-saham inilah yang menggerakkan pasar. Bahkan, terdapat beberapa saham bluechips yang harganya terbilang murah dan patut dikoleksi. Apa indikator sebuah saham bluechips dikatakan murah atau
undervalue? Menurut Tomi, salah satu indikatornya adalah dengan melihat nilai Price Earning Ratio (PER) sebuah emiten
bluechips. “Ini salah satu indikator yang paling mudah diamati investor. Jika PER rendah, maka itu menandakan harga saham tersebut murah dan besar kemungkinan harganya naik lagi,” jelasnya. Meski demikian, setiap saham memiliki batasan PER yang berbeda-beda satu sama lainnya. Jimmy menambahkan, suatu saham bluechips dapat dikatakan murah jika secara fundamental, harga saham mereka sudah turun jauh di bawah harga wajarnya. “Demikian pula secara teknikal, di mana harga saham mereka
drop cukup dalam,” papar Jimmy. Berikut ini adalah rangkuman saham-saham bluechips murah, hasil wawancara KONTAN terhadap sejumlah analis: - PT Astra Internasional Tbk (
ASII)
Alasan: Paska stock split, harga saham
ASII tentu menarik untuk investor karena terbilang murah. Apalagi saham
ASII termasuk salah satu saham terfavorit bagi para manajer investasi.
Target harga: Rp 10.000 - PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (
BBRI)
Alasan: Sektor keuangan pada umumnya paling awal bangkit setelah adanya krisis ekonomi.
BBRI merupakan perbankan mewakili pemerintah yang menjadi market leader di sektor keuangan.
Target harga: Rp 7.500 - PT Bank Central Asia Tbk (
BBCA)
Alasan: Sama seperti
BBRI, sektor keuangan umumnya paling awal bangkit setelah adanya krisis ekonomi.
BBCA merupakan perbankan mewakili swasta yang menjadi market leader di sektor keuangan.
Target harga: Rp 8.500 - PT Bank Unilever Indonesia Tbk (
UNVR)
Alasan: Sejarah membuktikan, selama masa krisis, consumer goods masih tetap digunakan oleh masyarakat. Perusahaan memiliki tipe defensif dan memberikan deviden yang besar.
Target harga: Rp 25.000 IHSG berpotensi rekor Mengoleksi saham-saham bluechips dengan harga diskon tentu bisa mendatangkan keuntungan bagi investor. Apalagi, mayoritas analis masih optimistis dengan kinerja indeks hingga akhir tahun. Felix, misalnya, belum merevisi target
IHSG pada akhir tahun ini di level 4.425. “Secara historis, pada saat market AS recovery di 2009,
rally IHSG berlangsung sangat cepat," ungkap Felix. Sedangkan Jeff Tan mematok prediksi
IHSG akhir tahun dengan rentang cukup lebar, yakni 4.100-4.600. “Prediksi akhir tahun yang lebar itu disebabkan karena banyaknya moving parts atau variable yang sulit dianalisa,” ungkap Jeff. Selain perkembangan ekonomi di Eropa, AS, dan China, ada variable lain yang juga penting untuk dicermati. Variable itu berasal dari domestik, yakni risiko-risiko regulasi dari kebijaksanaan pemerintah yang tidak terkoordinasi secara baik, sehingga menimbulkan ketidakpastian. Sebut saja seperti penetapan harga gas domestik, Hukum Tenaga Kerja Kontrakan, pengenakan pajak ekspor tambang, dan sebagainya.
Sedangkan Jimmy masih optimistis
IHSG akan mengalami penguatan di atas level 4.000 dengan kisaran pergerakan 4.500-4.700. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie