JAKARTA. Pemerintah masih ngotot ingin mengambil alih PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Maklum, tanpa berkuasa penuh atas Inalum, pemerintah kesulitan mengembangkan pabrik pengolahan aluminium tersebut. Saat ini, 58,87% saham mayoritas saham Inalum sebesar 58,87% masih digenggam konsorsium perusahaan asal Negeri Matahari Terbit: Nippon Asahan Aluminium (NAA). Sedangkan pemerintah memegang 41,13% saham.Direktur Jenderal Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Agus Tjahajana mengungkapkan, pemerintah bahkan sudah punya rencana untuk mengembangkan Inalum. "Kami tetap ingin Inalum dimiliki Indonesia, dan ingin perusahaan itu terus berkembang," ujarnya, usai bertemu perwakilan Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang, Selasa (3/7) lalu.Agus menambahkan, setelah menguasai Inalum, pemerintah berniat menambah kapasitas produksi Inalum menjadi 410.000 ton per tahun, dari kapasitas saat ini yang hanya 250.000 ton per tahun. Untuk ekspansi itu, dibutuhkan dana sebesar US$ 1,2 miliar-US$ 1,3 miliar.Hanya saja, pemerintah belum memutuskan sumber dana rencana ekspansi itu. Namun beberapa alternatif bisa dilakukan. "Dananya bisa didapat melalui go public, investor, dan pinjaman lainnya," jelasnya.Selain itu, produksi Inalum bisa difokuskan untuk memenuhi permintaan domestik. Pasalnya dari kapasitas produksi saat ini, Indonesia hanya kebagian 100.000 ton aluminium dari Inalum.Nah, untuk mengambil alih saham dari NAA pemerintah membutuhkan dana sebesar Rp 7 triliun. Selain untuk mengambil alih saham, dana tersebut juga untuk modal kerja perusahaan, sehingga Inalum bisa berproduksi normal pasca pengambilalihan. Tahun ini, pemerintah melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) telah menganggarkan Rp 2 triliun untuk pengambilalihan saham Inalum. Sebelumnya, Ketua Otorita Asahan, Effendi Sirait memprediksikan bahwa kebutuhan aluminium di dalam negeri pada tahun ini akan mencapai 300.000 ton atau naik 20% dibanding tahun lalu.Namun, karena pasokan domestik hanya didapat dari Inalum, total pasokan dari dalam negeri hanya 100.000 ton. Itu artinya, sisa 200.000 ton masih akan mengandalkan impor, terutama dari China dan Korea Selatan.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Siap ekspansi, Inalum butuh US$ 1,3 miliar
JAKARTA. Pemerintah masih ngotot ingin mengambil alih PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Maklum, tanpa berkuasa penuh atas Inalum, pemerintah kesulitan mengembangkan pabrik pengolahan aluminium tersebut. Saat ini, 58,87% saham mayoritas saham Inalum sebesar 58,87% masih digenggam konsorsium perusahaan asal Negeri Matahari Terbit: Nippon Asahan Aluminium (NAA). Sedangkan pemerintah memegang 41,13% saham.Direktur Jenderal Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Agus Tjahajana mengungkapkan, pemerintah bahkan sudah punya rencana untuk mengembangkan Inalum. "Kami tetap ingin Inalum dimiliki Indonesia, dan ingin perusahaan itu terus berkembang," ujarnya, usai bertemu perwakilan Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang, Selasa (3/7) lalu.Agus menambahkan, setelah menguasai Inalum, pemerintah berniat menambah kapasitas produksi Inalum menjadi 410.000 ton per tahun, dari kapasitas saat ini yang hanya 250.000 ton per tahun. Untuk ekspansi itu, dibutuhkan dana sebesar US$ 1,2 miliar-US$ 1,3 miliar.Hanya saja, pemerintah belum memutuskan sumber dana rencana ekspansi itu. Namun beberapa alternatif bisa dilakukan. "Dananya bisa didapat melalui go public, investor, dan pinjaman lainnya," jelasnya.Selain itu, produksi Inalum bisa difokuskan untuk memenuhi permintaan domestik. Pasalnya dari kapasitas produksi saat ini, Indonesia hanya kebagian 100.000 ton aluminium dari Inalum.Nah, untuk mengambil alih saham dari NAA pemerintah membutuhkan dana sebesar Rp 7 triliun. Selain untuk mengambil alih saham, dana tersebut juga untuk modal kerja perusahaan, sehingga Inalum bisa berproduksi normal pasca pengambilalihan. Tahun ini, pemerintah melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) telah menganggarkan Rp 2 triliun untuk pengambilalihan saham Inalum. Sebelumnya, Ketua Otorita Asahan, Effendi Sirait memprediksikan bahwa kebutuhan aluminium di dalam negeri pada tahun ini akan mencapai 300.000 ton atau naik 20% dibanding tahun lalu.Namun, karena pasokan domestik hanya didapat dari Inalum, total pasokan dari dalam negeri hanya 100.000 ton. Itu artinya, sisa 200.000 ton masih akan mengandalkan impor, terutama dari China dan Korea Selatan.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News