KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Masyarakat harus bersiap mengencangkan ikat pinggang dalam menghadapi beban pengeluaran pada tahun depan. Hal ini dikarenakan pemerintah akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% seperti yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Padahal pemerintah menyadari kebijakan tersebut akan semakin menekan daya beli masyarakat menengah-bawah.
Baca Juga: Tarif PPN 12%, Pengamat Sebut Kenaikannya Lebih Tinggi dari Kenaikan Upah Minumum Alih-alih menunda kenaikan tarif PPN, DPR RI menyapati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak masuk dalam Progtam Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2025. RUU ini menjadi payung hukum bagi pemerintah untuk kembali menggelar Program Tax Amnesty Jilid III. Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun mengatakan bahwa pembahasan mendalam terkait substansi program Tax Amnesty akan menjadi agenda selanjutnya. Misbakhun menegaskan pentingnya diskusi dengan pemerintah untuk menentukan sektor apa saja yang akan dicakup, perlindungan yang diberikan, serta mekanisme pelaksanaan program Tax Amnesty. "Kita nanti akan berbicara dulu dengan pemerintah, di masa sidang mana mereka akan mengusulkan dan membahas ini," ujar Misbakhun kepada awak media di Gedung Bappenas, Selasa (19/11).
Baca Juga: DPR RI Ungkap Urgensi Munculnya RUU Tax Amnesty Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengkritik kebijakan Tax Amnesty yang dianggap tidak efektif dalam meningkatkan penerimaan pajak. Menurutnya, meskipun telah ada dua kali program Tax Amnesty, rasio pajak Indonesia tetap tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Bhima menegaskan, pengampunan pajak yang seringkali dilaksanakan justru berpotensi menurunkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak, terutama di kalangan orang kaya dan korporasi besar. "Pastinya pengemplang pajak akan berasumsi setelah Tax Amnesty III akan ada lagi. Ini moral hazardnya besar sekali," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Selasa (19/11). Ia juga mengkritik kebijakan pemerintah yang cenderung berfokus pada pelaksanaan tax amnesty tanpa terlebih dahulu menyelesaikan pencocokan data aset dari program tax amnesty sebelumnya.
Baca Juga: CELIOS: Program Makan Bergizi Gratis Ancam Kesempatan Kerja di Sektor Pendidikan Menurutnya, alih-alih memaksimalkan potensi pajak yang ada, pemerintah malah meluncurkan program pengampunan pajak baru yang dinilai tidak memberikan solusi jangka panjang terhadap masalah kepatuhan pajak. "Saya gagal paham dengan logika pajak pemerintah. Toh, pengusaha kan sudah menikmati tarif PPh Badan yang terus menurun," kata Bhima. Di sisi lain, Bhima juga menyampaikan keprihatinannya terhadap dampak negatif dari kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Menurutnya, kenaikan PPN tersebut akan memberikan tekanan pada daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah, sekaligus memukul pelaku usaha, terutama di sektor ritel dan industri pengolahan. Hal ini, lanjut Bhima, berpotensi memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di sektor-sektor tersebut.
Oleh karena itu, ia mempertanyakan logika di balik kebijakan pemerintah terkait pajak, yang dinilai tidak berpihak pada penciptaan sistem perpajakan yang adil dan berkelanjutan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi