Siapa investor di RI?



Beberapa tahun terakhir ini, otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) agresif membuka pintu untuk bisa merangkul semakin banyak investor dan emiten yang melantai di bursa. Mulai dari cara-cara “tradisional”, seperti seminar atau workshop menjadi investor, sampai dengan cara-cara “out the box” dengan mendatangkan artis, dan berbagai komunitas ke lantai bursa.

Hasilnya bisa dilihat, tiap tahun ada tambahan belasan perusahaan baru yang melantai di BEI. Indeks Harga Saham Gabungan pun terus menanjak, bahkan sudah beberapa kali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa di kuartal-3 2017 lalu.

Tapi kalau kita menengok jumlah investor yang berinvestasi di pasar saham, jumlahnya masih sangat mini. Walau di Juni lalu KSEI mengumumkan jumlah investor sudah menembus rekor 1 juta, tapi jumlah tersebut hanyalah 0,40% dari total penduduk negeri ini.


Padahal persyaratan untuk menjadi investor di pasar saham sudah jauh lebih mudah dibandingkan 5-10 tahun lalu misalnya. Sebut saja, jumlah satuan saham yang dibeli (lot saham) dulu adalah 500 lembar saham. Jadi para pemilik dana cekak hanya bisa meneteskan air liur melihat saham-saham bagus dengan harga di atas Rp 2.000, karena ia harus merogoh Rp 1 juta untuk membeli 1 lot saham tersebut.

Sekarang, satu lot saham hanyalah 100 lembar saja. Otoritas bursa pun sudah membuka program menabung saham untuk membeli saham dengan lebih mudah. Siapa pun bisa menjadi investor dengan membuka rekening di perusahaan sekuritas hanya dengan dana Rp 100.000. Padahal 10 tahun lalu, minimal penempatan investor di perusahaan sekuritas Rp 25 juta.

Belum lagi kalau kita bicara kemudahan bertransaksi, yang saat ini bisa lebih mudah dilakukan online lewat web atau aplikasi mobile. Semuanya sudah begitu mudah, kenapa pertumbuhan investor yang mau masuk di bursa begitu perlahan?

Saya sendiri tentulah tidak tahu persis apa penyebabnya. Tapi dugaan utama saya tertuju kepada ketegasan otoritas terhadap praktik curang para bandar, insider trading yang makin marak, perlindungan terhadap investor minoritas yang tak pernah terwujud.  Jadi sebelum menjaring investor baru di kalangan milenial, saya sarankan otoritas merawat para investor yang ada.

Cobalah juga kenali lebih dalam para investor yang sudah ada. Sampai saat ini sepertinya otoritas masih kesulitan mendapatkan profil umum para investor, bahkan sekadar profil demografi investornya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi