Robert T. Kiyosaki membuka cakrawala pemikiran baru di bidang keuangan pada periode 1990-an melalui buku Rich Dad Poor Dad. Pemikirannya dianggap sangat revolusioner dengan menyebut penabung adalah pecundang, dan rumah bukan aset melainkan liabilitas. Buku ini menceritakan bagaimana dua sosok ayah yang mempengaruhi kehidupannya. Ayah miskin adalah ayah kandungnya yang bergelar doktor, bekerja untuk pemerintah dengan jabatan tinggi, tetapi bekerja untuk uang dan membayar tagihan sepanjang hidup. Lantas ayah angkat yang ia sebut ayah kaya. Meski lulusan sekolah lanjutan atas, tetapi bekerja membangun kekayaan lewat aset. Kemudian, pada tahun 2000, ia meluncurkan sekuel Rich Dad Poor Dad yang berjudul Cashflow Quadrant: Rich Dads Guide to Financial Freedom. Dalam kedua buku ini, ia membagi sumber arus kas ke dalam empat kuadran: (1) bekerja untuk orang lain, dimasukkan ke dalam kuadran E (employees), (2) bekerja mandiri dalam kuadran S (small business), (3) bekerja dalam bisnis besar yang melibatkan sistem dan orang dalam kuadran B (big business), seperti pendiri perusahaan dan pemilik waralaba, dan (4) investor dalam kuadran I (investor) sebagai kuadran tertinggi di mana uang bekerja menghasilkan uang. Dalam dua buku tersebut beserta satu buku terbarunya yang berjudul Why The Rich is Getting Richer, ia selalu menuliskan bahwa siapa pun dapat beralih dari satu kuadran ke kuadran lain, tergantung pada pola pikir tiap kuadran. Seorang karyawan pun, yang ia selalu sindir sebagai pemain aman dan penghindar risiko, dapat beralih ke kuadran I selama ia mampu mengubah pola pikir.
Bagi Kiyosaki, perbedaan antara aset dan liabilitas adalah dari mana dan ke mana arus kas mengalir. Selama arus kas mengalir masuk ke saku Anda, ia sebut sebagai aset, misalnya properti yang disewakan (uang sewa) dan saham (dividen). Jika kita membeli sebuah rumah atau mobil yang tidak menghasilkan atau mengeluarkan biaya, ia sebut sebagai liabilitas, misalnya biaya pemeliharaan rutin sebuah rumah dan premi asuransi atas mobil pribadi. Saya sendiri adalah seorang pegawai yang bekerja untuk pemerintah. Mungkin membutuhkan proses yang amat panjang menuju kuadran tertinggi tersebut. Namun, perjalanan harus dimulai sekarang. Investasi saham menjadi salah satu cara bergabung dalam kuadran I. Ingat, di balik suatu saham adalah perusahaan, dan di balik perusahaan adalah aset, baik berwujud maupun tidak berwujud. Menurut Kiyosaki, penabung menjadi pecundang karena satu hal: uang dicetak dengan mudah. Pencetakan uang akan terus menggerus nilai uang dan melahirkan inflasi sepanjang masa. Inflasi dan lindung nilai Inflasi menjadi common enemy bagi para investor, sebagaimana yang juga menjadi perhatian investor tersukses di dunia: Warren Buffett dan pendahulunya Phillip Fisher. Warren Buffett yang sering diidentikkan dengan Benjamin Graham, pada kenyataannya lebih banyak menerapkan ajaran Fisher. Warren Buffet pada Mei 1977 menulis sebuah artikel di majalah Fortune berjudul How Inflation Swindles The Equity Investor. Menurutnya, bukan sebuah rahasia bahwa saham, layaknya obligasi, tidak menghasilkan return yang signifikan pada masa inflasi. Inflasi menyebabkan nilai uang menyusut dari waktu ke waktu. Buffett menyederhanakan simulasi perhitungannya. Setelah perang dunia, return on equity perusahaan di Amerika Serikat tidak terlalu beragam, di kisaran 12% setahun. Investor sering terlena dengan return ini tanpa menghitung biaya inflasi, pajak, dan frictional cost. Pada zaman itu, inflasi mencapai 7% dan pajak untuk investor individu 50%. Asumsikan return setahun 12% dengan dividen kas 5% (2,5 setelah pajak) sehingga tersisa 7% sebagai laba ditahan. Jika pada zaman itu inflasi sebesar 7%, maka seorang investor pada saat itu menghasilkan return 0%! Namun, Fisher dalam bukunya Path to Wealth through Common Stocks menjelaskan, saham berbeda dengan obligasi, meskipun dalam pandangan Buffett keduanya relatif sama. Saham dianggap sebagai lindung nilai (hedging) terhadap inflasi karena merepresentasikan kepemilikan atas aset yang nilainya akan selalu tumbuh. Sementara kupon obligasi dalam bentuk kas akan tergerus nilainya. Menurut Fisher, benar bahwa saham sebagai lindung nilai terhadap inflasi, tetapi ia menganggap hampir tidak ada hubungan antara nilai aset suatu perusahaan dengan harga pasarnya. Harga pasar suatu saham dipengaruhi oleh earnings power dan future earnings power yang didorong oleh kinerja manajemen yang kompeten dan jujur. Kemudian, Fisher memperkenalkan suatu metode untuk menilai keandalan suatu manajemen yang ia sebut scuttlebutt. Dengan scuttlebutt, investor bukannya mencari informasi terkait perusahaan melalui manajemen karena semuanya akan hebat di mata mereka, melainkan dari pihak luar yang berhubungan dengan manajemen, mulai dari pelanggan, pemasok, kreditur, hingga mantan karyawan sehingga penilaian menjadi bebas bias. Di Indonesia sendiri, net return dapat lebih menjanjikan mengingat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, yaitu 5,2%, return on equity 15,8% (data gurufocus.com ), dividen yield 2,5%, inflasi di kisaran 3,5%, dan pajak final investor individu sebesar 10%. Sebagai investor yang lebih konservatif, nilai opportunity cost dapat dimasukkan ke dalam perhitungan. Salah satunya obligasi negara (8,25%). Return setelah dividen 13,3% (dividend yield after tax 2,25%) minus inflasi menjadi 9,8%. Dengan opportunity cost after inflation sebesar 4,75%, net return masih sebesar 5,05%. Dengan kata lain, investasi pada saham saat ini masih sangat menjanjikan selama pertumbuhan ekonomi konsisten di atas 5%. Yang penting adalah temperament quality, bukan intelligent quality. Warren Buffett pernah mengatakan, jika Anda memiliki IQ 160, jual 30-nya karena Anda tidak membutuhkan IQ tinggi untuk berinvestasi pada saham. Investasi saham hanya butuh kesabaran, bukan semata kecerdasan.
Investasi saham menjadi salah satu metode lindung nilai terhadap inflasi dan depresiasi aset. Setiap dari kita punya kesempatan yang sama untuk beralih ke kuadran I. Yang terpenting adalah mindset dan sustainable learning. Nilai uang dari waktu ke waktu akan terus tergerus sehingga investasi adalah satu-satunya jalan keluar untuk melawan dan melampaui depresiasi nilai uang sepanjang masa. Investasi bukan lagi menjadi suatu pilihan, melainkan suatu keharusan karena nilai uang akan terus tergerus.•
Ricky Karunia Lubis Fiskus dan Pelaku Pasar Modal Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi