Siapa Sangka, Plastik Bahan Paling Efisien dan Serba Guna



Jakarta – Persoalan sampah plastik saat ini menjadi perhatian semua pihak. Baik pemerintah maupun masyarakat, sama-sama menyadari, persoalan sampah perlu ditangani secara bersama-sama.

Sayangnya, di sebagian besar masyarakat, plastik masih sering dilihat hanya satu sisi saja. Padahal, produk plastik, sudah melekat dalam setiap kehidupan dan aktivitas manusia. Bahkan terbukti meningkatkan kualitas hidup. Karena itu, jika ada yang ingin menghilangkan total bahan baku plastik, misal untuk kemasan, tidak tepat dan kontraproduktif.

Wakil presiden divisi plastik American Chemistry Council (ACC) Steve Russell, mengatakan, mengganti plastik dengan bahan alternatif dalam kemasan, justru akan menyebabkan peningkatan penggunaan energi, konsumsi air dan limbah padat, serta meningkatkan emisi gas rumah kaca, pengemasan, eutrofika dan penipisan ozon.


Laporan studi tersebut berdasarkan data mengenai manfaat plastik dan gas rumah kaca dibanding dengan alternatif lain.

Sejatinya, beberapa produk berbahan dasar plastik sudah memiliki alternatif material lain, seperti metal straw, woven bag dan glass-bottled drink. Namun, konsekuensi yang akan dihadapi dengan penggunaan material alternatif tersebut, seperti dilansir ACC, dalam produksi massal, ternyata juga punya dampak mengkhawatirkan.

Antara lain, empat kali lebih besar untuk pemeliharaan lingkungan, lima kali lebih besar untuk perbaikan kesehatan dan ekosistem, tiga kali lebih besar untuk menanggulangi perubahan iklim, dan hampir dua kali lebih besar untuk perbaikan kerusakan laut.

“Temuan itu menantang kesalahan persepsi umum di sekitar plastik dan menggarisbawahi bahwa plastik tergolong bahan efisien serbaguna yang membantu menyelesaikan beberapa tantangan lingkungan,” kata Russel. 

Dengan fakta itu, maka yang perlu dikedepankan saat ini bagaimana menerapkan kebijakan daur ulang secara tepat guna. Disertai komitmen dan melalui program aksi nyata.

Karena itu, komitmen produsen plastik di Amerika Utara bahwa 100 persen kemasan plastik akan digunakan kembali, didaur ulang, atau dipulihkan pada 2040, idealnya bisa juga diterapkan di Indonesia.

Dengan begitu, tudingan bahwa plastik menjadi sumber utama pencemaran laut dapat ditepis. Sebaliknya, kualitas lingkungan terus terjaga dengan tidak menghilangkan produk plastik karena terbukti membantu meningkatkan kualitas hidup. 

“Kita semua menginginkan dunia tanpa polusi plastik, tetapi kita tidak ingin dunia tanpa plastik,” ujar Russel, mengingatkan.

ACC mencatat, plastik sebagai materi dasar dari alat-alat keseharian manusia masih belum dapat tergantikan. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, industri petrokimia sebagai penghasil bahan baku plastik juga akan terus berkembang.  Industri pengemasan plastik pun punya peran penting dalam rantai pasok untuk sektor strategis lain, seperti industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, dan elektronik.

Asal tahu saja, saat ini, berkembang pendekatan ‘ekonomi sirkular’ dalam pengelolaan plastik. Sebuah pendekatan dan strategi menyinergikan aspek perlindungan lingkungan hidup, pertumbuhan ekonomi, serta stabilitas sosial, dengan tujuan akhir berupa pembangunan berkelanjutan. 

Pendekatan ekonomi sirkular ini sudah diadopsi sejumlah negara, seperti Jepang dengan istilah soundmaterial-cycle society, Korea Selatan dengan istilah greengrowth, Tiongkok, dan Uni Eropa.

Model ini dinilai tepat karena menjaga sumber daya, dalam hal ini plastik, tetap dimanfaatkan, hingga ke titik maksimum. Model ini juga memulihkan dan meregenerasi produk dan bahan, untuk terus dapat dimanfaatkan. Ekonomi sirkular juga menawarkan cara untuk meningkatkan daya saing dan efisiensi.

Karena terbukti, plastik yang ringan, serbaguna, dan tahan lama membantu menghemat sumber daya utama seperti energi dan air di sektor-sektor strategis yang meliputi pengemasan, bangunan dan konstruksi, otomotif dan energi terbarukan, dan lain-lain.

Selain itu, aplikasi plastik dalam kemasan dapat membantu mengurangi limbah makanan. Namun, untuk meningkatkan manfaat plastik, tak kalah penting penting untuk memastikan bahwa semakin banyak sampah plastik yang ditemukan dan tidak berakhir di TPA atau di lingkungan.

Kolaborasi Mengelola Sampah Sejatinya, keterlibatan publik dalam mengelola sampah, seperti diwujudkan dalam bank sampah, mengalami peningkatan signifikan. Kementerian Lingkungan Hidup mencatat, dari 1.172 unit menjadi 7.488 unit dalam empat tahun terakhir. Ini artinya, keterlibatan publik semakin besar. 

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati mengemukakan, masyarakat perlu paham dan turut bertanggung jawab atas pengelolaan sampah, terutama karena masyarakat berperan besar dalam upaya pengurangan sampah dari sumbernya. 

Ada tiga stakeholder besar yang perlu bersinergi mengelola masalah sampah. Pertama produsen. Di mana termasuk di antaranya kafe yang dari produknya atau packaging menghasilkan sampah.

Kemudian konsumen, terutama pengguna kantong plastik. Selanjutnya dari sektor hilir yakni, yaitu pemerintah daerah, khususnya dinas kebersihan.

Persoalan sampah, kini menjadi perhatian seluruh dunia. Sehingga butuh penanganan sangat serius. Di sisi lain, harus diakui terdapat sejumlah kendala. Misal, hampir seluruh sistem pengelolaan sampah di Indonesia masih menggunakan sistem landfill atau tempat pembuangan akhir (TPA).

Dari 380 TPA di seluruh Indonesia, hanya 44 persen yang tidak open dumping, atau yang dilakukan secara benar. Sedangkan hampir 56 persennya dilakukan open dumping.  Sediakan tempat, sampah dibuang begitu saja. Seharusnya, begitu sampah dibuang setiap hari, di landcovering, dibuat sel-selnya sehingga tidak jadi persoalan faktor penyakit.  

Untuk mengatasi masalah itu, masyarakat harus diberikan edukasi soal pengurangan sampah plastik. Kesadaran masyarakat soal sampah yang sudah tinggi, harus terus didorong dan dengan senang hati memilah sampah sedari sumbernya dengan senang hati.

Sementara itu, Business Development Director Indonesia Plastic Recycle, Ahmad Nuzuludin mengatakan, persoalan sampah plastik yang terjadi saat ini karena belum terbangunnya perilaku pemilahan sampah organik dan non organik di masyarakat. Karena itu, perilaku collecting system harus dibangun lewat bank-bank sampah di tingkat RW atau kelurahan.

Ketika sistem pemilihan sampah plastik di daerah sudah terbangun, sampah plastik dapat didaur ulang dan akhirnya menciptakan nilai ekonomi bagi masyarakat itu sendiri.

Kata dia, kalau ada 70 ribu kelurahan atau desa di Indonesia, maka jumlah bank sampah seharusnya ada 70 ribu. Sehingga collecting system sampah, khususnya sampah plastik berjalan dengan baik, daur ulang meningkat, dan tidak ada lagi sampah kemasan plastik berserakan di sungai atau laut.

Daur ulang sampah plastik dapat digunakan untuk kebutuhan rumah tangga sehari hari, misalnya dijadikan kantong plastik kembali, botol plastik, frame, lensa kacamata dan lain-lainnya. Dengan menyediakan bank sampah dan pemaksimalan daur ulang sampah plastik, juga dapat menciptakan lapangan kerja baru.

Industri daur ulang plastik, kata dia, secara langsung ataupun tidak langsung sudah membantu pemerintah untuk mengolah suatu produk yang sudah tidak terpakai dan dibuang oleh masyarakat. Jadi barang yang sudah non value,  bisa disulap menjadi value added product.

“Bayangkan apabila tanpa industri daur ulang plastik, berapa banyak sampah yang akan menumpuk. Jangan melihat satu sisi terhadap produk plastik, karena juga memiliki nilai ekonomi tinggi, jika dikelola dengan baik," kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Indah Sulistyorini