Setelah lama tak terdengar, kabar tentang kewajiban lapor data transaksi kartu kredit kembali muncul setelah beberapa media, termasuk harian ini, memberitakan tentang Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 228 tahun 2017. Pada lampiran nomor 67 dari PMK tersebut, 23 lembaga penerbit kartu kredit yang didominasi perbankan wajib menyampaikan 13 jenis data termasuk identitas pemilik kartu dan perincian transaksi seperti nama merchant, nilai dan keterangan transaksi, beserta limit kartu kredit, secara rutin setiap bulan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Kewajiban pelaporan ini awalnya muncul dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39 tahun 2016 yang terbit 23 Maret 2016 yang kemudian diberitakan pertama kali oleh media sekitar seminggu kemudian pada 30 Maret 2016. Tiga bulan kemudian, tepatnya 1 Juli 2016, kewajiban pelaporan ditunda untuk memberi kesempatan masyarakat ikut amnesti pajak dan hingga kini penundaan tersebut kabarnya masih berlaku. Penolakan kalangan perbankan kala itu didasarkan pada kekhawatiran bahwa pelaporan data transaksi kartu kredit kepada Direktorat Jenderal Pajak akan mengakibatkan mereka kehilangan nasabah yang menutup kartu kredit karena khawatir transaksi mereka diketahui otoritas pajak. Kekhawatiran ini ternyata tidak terbukti.
Berdasarkan data Bank Indonesia, pada Maret 2016 jumlah kartu kredit yang beredar memang turun lebih dari 49.000. Namun demikian penurunan jumlah kartu kredit ini hampir pasti tidak disebabkan PMK 39/2016 mengingat aturan itu baru terbit dan mulai ramai diberitakan media pada akhir bulan Maret tersebut. Faktanya dalam periode 12 bulan dari April 2016 hingga Maret 2017, tidak ada satu bulan pun yang mengalami penurunan jumlah kartu kredit beredar. Bahkan, dalam kurun waktu tersebut rata-rata pertambahan kartu baru mencapai 58.000 kartu, atau lebih tinggi dibanding rata-rata penerbitan kartu kredit pada periode 2015-2017 yang hanya mencapai 33.000 kartu kredit baru per bulan. Dari segi volume transaksi, April 2016 mencatat penurunan volume sebesar 8,38% disertai penurunan nilai transaksi sebesar 10,61%. Walaupun demikian, penurunan volume dan nilai transaksi ini juga tidak dapat dijadikan dasar untuk menyimpulkan bahwa pelaporan data transaksi menekan belanja kartu kredit. Buktinya sebulan kemudian pada Mei 2016 bertepatan dengan batas waktu pelaporan pertama kali data transaksi kartu kredit, volume dan nilai transaksi justru naik masing-masing 8,95% dan 7,29%. Pada Juli 2016, setelah penundaan pelaporan data transaksi diumumkan, volume dan nilai transaksi justru turun masing-masing 5,03% dan 9,89%. Perlu sosialisasi Kenyataannya, fluktuasi belanja menggunakan kartu kredit lebih mencerminkan pola yang cenderung berulang setiap tahun. Yakni konsumsi meningkat pesat di bulan Desember, turun di Januari – Februari, meningkat lagi di bulan Maret, kemudian turun di April, dan seterusnya dimana bulan yang mengalami kenaikan belanja cenderung diikuti satu atau dua bulan penurunan belanja, dan belanja di November tiarap karena orang mengantisipasi ledakan konsumsi di penghujung tahun. Dari analisis sederhana ini, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa baik jumlah, volume, maupun nilai transaksi kartu kredit tidak terpengaruh ketentuan yang mewajibkan lembaga penerbit kartu kredit untuk melaporkan data transaksi nasabah kepada otoritas pajak. Kalaupun ada pengaruhnya, itu relatif tidak signifikan sehingga tidak mempengaruhi tingkat konsumsi dan keberlangsungan usaha industri kartu kredit. Pemberitaan tentang kebijakan pelaporan data kartu kredit ini mengingatkan kita pada kewajiban lapor data nasabah bank yang juga disertai berbagai prediksi negatif seperti pengalihan dana oleh nasabah tajir ke yurisdiksi luar negeri atau penarikan dana besar-besaran pada Desember 2017 akibat saldo rekening pada periode tersebut akan dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pajak. Untungnya, sama seperti yang terjadi pada kasus wajib lapor data kartu kredit, fakta berbicara lain. Data simpanan yang diterbitkan LPS menunjukkan pada Desember 2017 jumlah rekening yang wajib dilaporkan, yaitu dengan nilai minimum Rp 1 miliar, justru bertambah hampir 12.000 rekening dengan nominal simpanan meningkat Rp 10 triliun lebih. Akhir 2017 juga ditandai dengan perayaan yang meriah namun tidak ada satupun kabar terjadi bank rush. Kekhawatiran nasabah akan memecah-mecah rekening juga tampaknya tidak menjadi kenyataan. Apabila nasabah kaya memecah simpanan yang tadinya dalam satu rekening dengan nominal di atas Rp 1 miliar menjadi beberapa rekening di beberapa bank yang berbeda dengan nominal masing-masing di bawah Rp 1 miliar, maka yang akan terjadi adalah rata-rata nilai simpanan di bawah batas minimum pelaporan, khususnya lapisan yang tepat berada di bawah ambang batas tersebut, akan mengalami kenaikan yang signifikan. Kenyataannya, berdasarkan data LPS, rata-rata simpanan pada segmen Rp 500 juta – Rp 1 miliar pada Desember 2017 justru sedikit lebih rendah dibandingkan nilai pada Desember 2016, yang notabene merupakan periode sebelum Perppu 1/2017 terbit. Dua kasus ini menunjukkan bahwa adanya prediksi negatif dan kekhawatiran dari berbagai pihak tidak berarti suatu kebijakan itu buruk atau salah. Namun, seperti dalam berbagai kasus sebelumnya, aspek yang harus diperhatikan adalah transparansi dan komunikasi publik khususnya kepada pihak-pihak yang paling terdampak dari suatu kebijakan. Dalam hal ini berlaku pepatah: mencegah lebih baik daripada mengobati.
Formulasi kebijakan publik seharusnya dilakukan secara lebih transparan. Dan sejak awal melibatkan para pihak yang terdampak. Ini supaya bisa tercipta saling pengertian dan kesamaan persepsi jauh-jauh hari sebelum kebijakan tersebut ditetapkan agar menghindari kontroversi dan kerisauan yang sebenarnya tidak perlu. Biasanya timbul dari kesalahpahaman, kecurigaan, dan ketidakpercayaan. Selain itu, keterlibatan masyarakat sejak awal akan memungkinkan aspek-aspek yang berpotensi menjadi masalah diantisipasi sejak dini. Lantas bisa dicari dicari solusinya sebelum kebijakan akhir terbit. Demikian pula setelah suatu kebijakan terbit. Sosialisasi harus segera dilakukan dan petunjuk pelaksanaan harus segera diinformasikan kepada pihak yang terdampak sebelum menjadi headline di media nasional dan memicu keresahan yang tidak perlu. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi