KONTAN.CO.ID - SAAT matahari masih malu-malu menampakkan dirinya di ufuk timur, Muhammad Yusuf sudah pergi ke tambak bandeng di Desa Meunasah Asan, Aceh Timur. Bersama sejumlah rekannya, ia menyiapkan jala, karung, boks, hingga es. Tak lupa, perahu motor dipanaskan demi memperlancar proses angkut panen ikan. Pagi itu, Yusuf dan rekannya dari kelompok petani tambak Bina Sejahtera Insani hendak memanen ikan bandeng ukuran kecil yang disiapkan untuk ekspor. Mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu rela bermandi lumpur saat menggiring kawanan bandeng ke jala ke ujung tambak. Sebagian rekannya menyerok ikan dan mengangkutnya ke darat. Berbeda dengan panen bandeng pada umumnya. Ikan bandeng yang dipanen berukuran kecil-kecil dengan maksimal berat 200 gram. Ikan ini akan dijadikan umpan pancing tuna di negara tujuan ekspor, yakni Korea Selatan dan Jepang.
Sebelum ekspor, bandeng dikumpulkan ke dalam boks berisi es di tempat penampungan ikan (TPI) supaya tetap segar. Di sana, sebuah truk akan mengangkutnya ke cold storage milik PT Yakin Pasifik Tuna di Banda Aceh. Setelah terkumpul banyak, barulah diekspor dari kota Banda Aceh. Ekspor bandeng dari Desa Meunasah Asan sudah dilakukan sejak tahun 2022. Agar bisa ekspor, petambak menggunakan jasa penghubung PT Yakin Pasifik Tuna. Selama ini, pesisir Aceh lebih banyak budidaya vaname, tetapi modal usahanya lebih mahal sehingga menyulitkan petambak kecil. "Modal untuk budidaya bandeng juga lebih murah, jadi ini cocok untuk masyarakat kecil di pesisir Aceh," Almer Hafiz, Direktur Yakin Pasifik Tuna saat wawancara dengan KONTAN TV, Jumat (5/5). Dari sisi produksi juga demikian, modal produksi bandeng untuk umpan pancing hanya Rp 7.000-Rp 10.000 per kilogram. Sedangkan, produksi bandeng ukuran besar butuh biaya Rp 14.000-Rp 17.000 per kilogram. Dari sisi waktu, budidaya bandeng untuk umpan pancing tuna bisa lebih cepat, sehingga panen bisa tiga kali setahun atau lebih sering dari bandeng konsumsi yang hanya sekali atau dua kali.