KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri makanan dan minuman di Indonesia terus berjuang menghadapi tantangan signifikan akibat ketergantungan terhadap impor bahan baku utama seperti terigu, gula, kedelai, susu, dan garam, di tengah pelemahan nilai tukar rupiah yang telah mencapai sekitar 7% dari tahun lalu. Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi Lukman, situasi ini masih menjadi PR besar bagi industri makanan dan minuman. "Kami mengimpor sebagian besar bahan baku utama dan juga berbagai bahan tambahan seperti flavor, pengawet, dan pengatur asam karena masih kekurangan produksi lokal," ungkap Adhi saat ditemui di Jakarta, Senin (22/7).
Adhi menjelaskan bahwa terigu, misalnya, merupakan bahan baku yang 100% diimpor karena Indonesia tidak memiliki produksi gandum yang cukup. Baca Juga: Gapmmi: Pelemahan Rupiah Berdampak Pada Kenaikan Produksi Sebesar 3% Begitu pula dengan gula yang juga 100% diimpor untuk industri makanan dan minuman karena produksi gula dalam negeri belum mencukupi kebutuhan. Kedelai dan susu, yang penting untuk beberapa produk, juga sebagian besar harus diimpor, dengan tingkat ketergantungan mencapai sekitar 70-80%. "Tantangan utama yang kami hadapi adalah bagaimana mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku ini," ungkapnya. Menurutnya, solusi jangka panjangnya adalah dengan mendorong investasi asing untuk membangun fasilitas produksi di dalam negeri sehingga dapat memenuhi kebutuhan industri domestik yang besar. "Kami berharap pemerintah dapat mengimplementasikan strategi hilirisasi yang komprehensif, dimulai dari sektor hulu hingga hilir, untuk mendukung pertumbuhan industri yang berkelanjutan," tambahnya. Dia menegaskan bahwa kebijakan pemerintah harus sinkron dengan visi untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor dan meningkatkan produksi dalam negeri.