JAKARTA. Sidang pengujian beleid pasal 19 Undang-Undang (UU) Nomor 22/2011 dan Pasal 18 UU Nomor 4/2012 tentang APBN-P 2012 di Mahkamah Konstitusi (MK) terus berlanjut. Hari ini, Selasa (28/9) dilaksanakan sidang ke-empat untuk memperdengarkan saksi ahli dari pemohon perkara APBN-P yang membahas bantuan korban lumpur Lapindo. Pengujian beleid tersebut diajukan oleh pemohon yang terdiri dari Suharto, Tjuk K Sukiadi sebagai akademisi mantan dosen Universitas Airlangga, dan Ali Azhar Akbar sebagai peneliti kasus lumpur Lapindo. M Taufik Budiman Kuasa Hukum Pemohon menilai, penetapan APBN-P yang mengatur penanggulangan kerugian kasus lumpur Lapindo melanggar norma keadilan sehingga bertentangan dengan UUD 1945.
"Ketidakadilan timbul ketika adanya pemisahan peta areal terdampak dan di luar peta terdampak," ungkapnya kepada Kontan, Selasa (28/8). Menurut Taufik, semburan lumpur Lapindo menyebabkan korban jiwa dan kerusakan lingkungan yang mengenai area peta berdampak dan di luar peta berdampak. Hal ini membuat tidak sepatutnya ada pembedaan proses ganti rugi oleh pemerintah. Taufik mengatakan, UUD 1945 mengatakan bahwa APBN-P harus digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. "Ini menekankan bahwa tidak boleh ada pembedaan terkait bantuan kepada masyarakat," ujarnya. Taufik menambahkan, bahwa terjadinya kasus lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, merupakan kesalahan dan kelalaian PT Lapindo Brantas. Sehingga, ketentuan Pasal 18 UU APBNP 2012 menimbulkan pelaksanaan yang tidak konsekuen terhadap UUD 1945. Menurut Taufik, untuk memastikan adanya kepastian hukum maka beleid APBN-P yang di gugat pemohon harus dibatalkan dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Taufik melanjutkan, seharusnya pemerintah mengambil tindakan tegas dengan meminta PT Lapindo Brantas mengganti rugi seluruhnya kerugian kasus lumpur Lapindo. Solusinya bukan melalui dana APBN yang berasal dari pajak negara. Saksi Ahli Pemohon, Arimbi Hanoepoetri sebagai anggota Aliansi Pengacara Lingkungan Dunia(ELAW) mengatakan, pemerintah melakukan diskriminasi berlapis, dengan mengeluarkan kebijakan peta terdampak. Menurutnya, pemerintah juga hanya fokus dalam melakukan pembelian lahan dari para korban Lumpur lapindo. Sedangkan, masih banyak korban trauma dan kehilangan lapangan pekerjaan yang tidak dijadikan objek perlindungan dalam APBN. “Pemerintah juga tidak melakukan usaha apa pun untuk menjamin tidak terulang kembali bencana serupa di kemudian hari,” ujarnya. Arimbi mengatakan, pengalokasian dana APBN bertentangan dengan pasal 23 ayat 1 UUD 1945 karena tidak memenuhi unsur sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kemenkeu bungkam Sedangkan pada kesempatan yang sama, dari pihak pemerintah, Parluhutan Hutahaeyan Direktur Anggaran I Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan(Kemenkeu) tidak mau berkomentar terkait uji materi beleid APBN-P yang membahas lumpur Lapindo. "Saya tidak bisa bicara dahulu," ujarnya.
Pihak pemerintah dalam sidang lanjutan perkara UU APBN-P 2012 di MK, menyatakan meminta tambahan sidang untuk mendengarkan saksi ahli dari pemerintah. Hakim Konstitusi Mahfud MD mengaku telah menyetujui permohonan pemerintah. "Hakim menyetujui adanya sidang lanjutan pada tanggal 6 September 2012 untuk mendengar saksi ahli pemerintah," ujarnya. Sidang selanjutnya adalah sidang yang terakhir dilakukan. Setelah itu akan ada sidang putusan terkait perkara UU APBN-P yang membahas bantuan terhadap korban lumpur Lapindo. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: