JAKARTA. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan menggelar sidang perdana gugatan praperadilan yang diajukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, pada hari ini, Senin (25/5/2015). Novel mengajukan praperadilan terhadap Polri pada 4 Mei 2015 lalu. "Besok (hari ini) agendanya hanya pembacaan gugatan. Gugatan tersebut sudah diberikan ke PN saat pendaftaran dulu," kata kuasa hukum Novel, Muji Kartika Rahayu, melalui pesan singkat yang diterima Kompas.com, Minggu (24/5/2015) malam. Menurut Muji, tak ada persiapan khusus dalam menghadapi sidang perdana yang dijadwalkan akan dilangsungkan pukul 09.00 WIB ini.
"Rencananya Novel datang," kata Muji. Lima dasar gugatan Sebelumnya, kuasa hukum Novel, Asfinawati, mengatakan, ada lima dasar gugatan tersebut. Pertama, penangkapan dan penahanan Novel didasarkan atas sangkaan Pasal 351 ayat (1) dan (3) terhadap korban bernama Mulya Johani alias Aan. "Tetapi, yang dijadikan dasar penangkapan justru surat perintah penyidikan lain yang memuat pasal berbeda, yaitu Pasal 351 ayat (2) dan Pasal 442 juncto Pasal 52 KUHP," ujar Asfinawati seusai mendaftarkan gugatannya ke PN Jakarta Selatan, Senin (4/5/2015). Alasan lainnya adalah penggunaan Surat Perintah Kabareskrim Nomor Sprin/1432/Um/IV/2015/Bareskrim tertanggal 20 April 2015 sebagai dasar penerbitan surat perintah penangkapan dan penahanan Novel. Hal ini dianggap tidak lazim karena dasar penangkapan dan penahanan adalah surat perintah penyidikan. Menurut dia, hal itu menunjukkan bahwa Kepala Bareskrim Komjen Budi Waseso telah melakukan intervensi terhadap independensi penyidik terkait kebijakan penyidikan, yaitu penangkapan dan penahanan. "Kabareskrim itu bukan bagian dari penyidik yang ditunjuk untuk melakukan penyidikan," ujar Asfinawati. Selain itu, kuasa hukum melihat ada serangkaian pernyataan kebohongan dari Polri kepada publik yang menutup-nutupi fakta sebenarnya terkait penangkapan dan penahanan Novel. Hal ini bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses penyidikan. Kuasa hukum Novel juga mempermasalahkan adanya perbedaan antara perintah Presiden maupun pernyataan Kapolri dan aksi penyidik tentang tidak adanya penahanan. Hal itu memperlihatkan tidak ada koordinasi antara Kapolri dan Kabareskrim, Kabareskrim melawan perintah Kapolri dan Presiden, atau Direktur Tindak Pidana Umum Reskrim Polri lebih mendengarkan perintah Kabareskrim dibandingkan Kapolri dan Presiden. Alasan terakhir, kuasa hukum melihat proses penangkapan penyidik atas kliennya tidak sesuai dengan prosedur. Surat perintah penangkapan dianggap telah kedaluwarsa dan penahanan dilakukan tanpa memenuhi syarat subyektif penahanan dan tidak sesuai dengan prosedur. Penangkapan dan penahanan Novel dilakukan dengan disertai berbagai pelanggaran ketentuan hukum.