JAKARTA. Menemani aktivitas anda di akhir pekan ini, kami menyajikan sejumlah berita menarik di halaman bursa saham Harian KONTAN edisi Sabtu 22 November 2014, sebagai berikut. PT Bumi Resources Tbk (BUMI) PT Bumi Resources Tbk (BUMI) akhirnya merealisasikan rencana yang sudah bergulir sejak dua tahun lalu: menjual saham di PT Fajar Bumi Sakti.
Dileep Srivastava, Direktur dan Sekretaris Perusahaan BUMI, mengatakan, pihaknya sudah meneken perjanjian jual beli bersyarat atau
conditional sale & purchase agreement (CSPA) untuk menjual 50% saham di Fajar Bumi kepada Jainson Holding Hong Kong Limited. Sebelumnya sempat disebut, Rachmat Gobel kandidat pembeli Fajar Bumi
(Harian KONTAN, 7 Desember 2012). BUMI melakukan transaksi itu melalui dua unit usaha khusus, Bumi Resources Investment dan Leap Forward Resources Limited. "Transaksi penjualan 50% saham FBS sesuai kesepakatan CSPA, bernilai US$ 130 juta," kata Dileep ketika dimintai konfirmasi KONTAN, Jumat (21/11). Kedua pihak akan memfinalisasi transaksi itu dalam enam bulan ke depan. Di rentang waktu itu, BUMI dan Jainson akan melakukan uji tuntas
(due diligence) dan meminta persetujuan pihak berwenang sesuai yang disyaratkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). BUMI mengakuisisi 50% saham Fajar pada 2009 dari Ancara Properties Limited. Untuk mencaplok Fajar, BUMI menggelontorkan dana Rp 1,4 triliun. Fajar Bumi adalah pemilik Kuasa Pertambangan (KP) batubara di Loa Ulung, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Luas area konsesinya 988,34 hektare. KP ini semula berlaku 10 tahun sejak 7 Mei 1999 hingga 6 Mei 2009. Setelah diperpanjang beberapa kali, Fajar Bumi mendapatkan lisensi pertambangan baru di wilayah itu hingga 10 Juni 2018. Di sisi lain, seiring beban utang yang kian menghimpit, sejak 2012 BUMI mengemukakan rencana menjual saham Fajar. Emiten batubara milik keluarga Bakrie ini butuh dana besar untuk mengurangi utang, sebagai salah satu langkah efisiensi di tengah ambruknya harga batubara. Dileep mengakui, divestasi 50% saham Fajar merupakan kelanjutan strategi pengurangan utang BUMI. Emiten ini akan langsung memakai dana hasil divestasi untuk membayar utang ke beberapa kreditur. PT Bank Mutiara Tbk (BCIC) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengecualikan pemilik anyar PT Bank Mutiara Tbk (BCIC), J Trust dari kewajiban penawaran tender alias tender offer saham. Sebab ini merupakan transaksi luar biasa
(extraordinary). "Ini (saham Bank Mutiara) kan ada keharusan dialihkan ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jadi itu termasuk yang dikecualikan (untuk
tender offer)," jelas Nurhaida, Kepala Eksekutif bidang Pasar Modal OJK, Jumat (21/11). Otomatis, J Trust tidak mempunyai kewajiban melepas kembali kepemilikan sahamnya ke publik alias
refloat. Artinya, saham publik yang hanya tersisa 0,004% tidak akan berubah, jika pemodal asal Jepang itu tidak melakukan divestasi. Nurhaida menambahkan, pihaknya akan melihat rencana bisnis J Trust ke depan pada BCIC. "Kami akan tanyakan lebih lanjut mengenai rencana pemegang saham ke depan terhadap Bank Mutiara," kata dia. Tapi, Bursa Efek Indonesia (BEI) sepertinya tidak mengecualikan Bank Mutiara untuk memenuhi aturan Keputusan Direksi BEI Nomor Kep-00001/BEI/01-2014. Peraturan ini mewajibkan para emiten memiliki saham publik
(free float) minimal 7,5% dari total saham disetor. Aturan ini telah berlaku sejak awal tahun ini. Beleid baru BEI ini juga mewajibkan emiten memiliki minimal 300 pihak. "Kalau masih mau menjadi emiten BEI, BCIC harus memenuhi aturan pencatatan yang baru," ujar Ito Warsito, Direktur Utami BEI beberapa waktu lalu. Sekedar informasi, Bank Mutiara resmi berganti pemilik sejak Kamis (20/11). J Trust adalah investor Jepang. Kartika Wirjoatmodjo, Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan mengatakan, J Trust telah membayar tunai Rp 4,41 triliun. PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) mengungkapkan rencana pendanaan untuk membayar utang jatuh tempo. Emiten menara ini menyatakan, telah menambah pinjaman Rp 4,74 triliun. Dana tersebut merupakan pinjaman yang diperoleh anak usahanya PT Profesional Telekomuniksi Indonesia alias Protelindo. Utang tersebut terdiri dari Rp 4,13 triliun dalam mata uang dollar AS dan Rp 610,92 miliar dalam mata uang euro. Utang tersebut terdiri dari lima jenis pinjaman.
Pertama, TOWR meraih pinjaman senilai € 20 juta
term loan facility agreement dari ING Bank N.V. Singapore Branch.
Kedua, pinjaman dalam bentuk
revolving loan facility agreement senilai US$ 50 juta dari DBS Bank Ltd.
Ketiga, TOWR mendapat
term loan senilai € 20 juta dan
revolving credit facilities agreement US$ 100 juta dari Overseas-Chinese Banking Corporation (OCBC) Limited. Tiga pinjaman tersebut berjangka waktu lima tahun dan akan jatuh tempo 19 November 2019. PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF)
PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF) mengantongi pinjaman US$ 100 juta. Kreditur fasilitas itu adalah BNP Paribas SA dan Korea Development Bank (KDB). Ketiga pihak menandatangani perjanjian pinjaman pada 17 November 2014. Tenor fasilitas tiga tahun sehingga akan jatuh tempo pada 17 November 2017. Willy Dharma, Direktur Utama ADMF, mengatakan, fasilitas tersebut dikenakan bunga 9,4%. "Dananya untuk pembiayaan kepada konsumen," kata dia. Berdasarkan catatan KONTAN, ini adalah sumber pendanaan eksternal kedua ADMF dalam dua bulan terakhir. Pada Oktober lalu, ADMF menerbitkan obligasi berkelanjutan III tahap IV tahun 2014 dengan jumlah pokok sebesar Rp 1,5 triliun. Obligasi terbit dalam tiga seri. Seri A terbit Rp 607 miliar berkupon 9,6% berjangka waktu 370 hari. Kemudian, seri B Rp 808 miliar memberi kupon 10,5% bertenor tiga tahun. Sedangkan seri C terbit Rp 88 miliar dengan kupon 10,75% bertenor 60 bulan. ADMF juga menawarkan Sukuk Mudarabah Berkelanjutan I Adira Finance Tahap II Tahun 2014 dengan jumlah pokok sebesar Rp 133 miliar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sandy Baskoro