KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren permintaan biodiesel yang meningkat diperkirakan bisa mengerek kinerja emiten minyak kelapa sawit alias
crude palm oil (CPO). Permintaan akan CPO untuk biodiesel ini menjadi perbincangan lantaran Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka merencanakan program biodiesel B50 atau bauran Solar dengan 50% minyak sawit bisa tercapai pada 2029. Di tahun 2024, rencana biodiesel B40 akan dilakukan sebagai kelanjutan B35 di tahun sebelumnya.
Sayangnya, kondisi ini belum berdampak secara signifikan lantaran masih banyak emiten CPO yang tidak mengolah langsung hasil ekstraksi CPO menjadi bahan utama biodiesel. PT Sampoerna Agro Tbk (
SGRO) menjelaskan, produk CPO SGRO dijual ke pembeli yang beberapa di antaranya mempunyai
integrated refinery. Sehingga, tidak menutup kemungkinan beberapa dari pembeli yang melakukan proses refinery bukan hanya untuk menjadi biodiesel, tetapi ke produk-produk lainnya.
Baca Juga: Ombudsman: Kalah dari Vietnam, Ekspor CPO Indonesia Jeblok Head of Investor Relation Sampoerna Agro, Stefanus Darmagiri mengatakan, kemungkinan olahan produk refinery hasil olahan untuk kemudian diekspor juga sangat tinggi. “Pada saat ini, Perseroan masih berfokus pada penjualan produk hulu, seperti CPO dan palm kernel (PK). Seluruh penjualan CPO SGRO difokuskan untuk pasar domestik,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (29/5). PT Triputra Agro Persada Tbk (
TAPG) juga masih berfokus pada upstream sawit yang sebagian besar memproduksi CPO. “Penjualan TAPG juga masih berfokus pada perusahaan refinery domestik, sehingga hingga saat ini kita tidak memiliki porsi penjualan khusus untuk biodiesel,” ujar Sekretaris Perusahaan TAPG Joni Tjeng kepada Kontan, Rabu (29/5). PT Astra Agro Lestari Tbk (
AALI) menerapkan kebijakan opportunistic sales. Presiden Direktur AALI, Santosa mengatakan, Perseroan tidak punya target atau alokasi penjualan produk CPO maupun turunannya untuk kategori tertentu. “Kami hanya menjual sesuai harga terbaik dari trade harian,” ungkapnya kepada Kontan, Rabu (29/5). Di sisi lain, PT Jhonlin Agro Raya Tbk (
JARR) fokus pada bisnis biodiesel di tahun ini lewat pengolahan CPO menjadi segmen
fatty acid methyl ester (FAME). Melansir laporan keuangan, segmen FAME berkontribusi Rp 758,57 miliar ke penjualan JARR di kuartal I 2024 sebesar Rp 826,99 miliar di kuartal I 2024.
Baca Juga: Sepanjang Kuartal I, Produksi TBS Sampoerna Agro (SGRO) Turun 3% Sebesar 47% penjualan di kuartal I 2024 atau setara Rp 385,69 miliar dilakukan JARR kepada PT Pertamina Patra Niaga di kuartal I 2024. JARR dan Pertamina Patra Niaga sudah melakukan penandatanganan kontrak pengadaan biodiesel atau FAME pada 11 Januari 2024 lalu. Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Abdul Azis Setyo Wibowo mengatakan, permintaan B35 dan B40 bisa berdampak positif bagi emiten sawit. Sebab, kedua program tersebut bisa meningkatkan permintaan atas produk sawit. “Adanya penurunan produksi CPO dan TBS bisa membuat harga CPO naik dan emiten sawit akan diuntungkan,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (29/5). Diketahui, produksi TBS dan CPO tengah mengalami penurunan. Misalnya saja, produksi TBS SGRO turun 3% secara tahunan alias
year on year (YoY) dan turun 22% secara kuartalan ke 382.000 ton. Di sisi lain, tensi geopolitik yang masih panas juga bisa meningkatkan biaya operasional emiten sawit, mengingat harga pupuk akan terdampak dari kondisi ini. Namun, emiten CPO di tahun 2024 masih prospektif. Hal ini dorong oleh perkiraan adanya La Nina pada semester II 2024. “Pelarangan Uni Eropa (UE) untuk impor produk sawit tak terlalu berpengaruh, mengingat lebih banyak penjualan emiten CPO untuk kebutuhan domestik,” paparnya. Sayangnya, Azis masih merekomendasikan
wait and see untuk emiten CPO lantaran pergerakan sahamnya tengah turun. “Jika ada teknikal
rebound, investor bisa akumulasi beli,” ungkapnya. Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Muhammad Nafan Aji Gusta Utama melihat, permintaan B35 dan B40 seharusnya bisa turut memberikan katalis positif untuk meningkatkan penjualan emiten CPO.
Sayangnya, masalah pergerakan harga CPO masih bergantung dari permintaan dan penawaran di pasar global. Akibatnya harga rerata penjualan alias
average selling price (ASP) CPO masih fluktuatif. “Dengan situasi geopolitik yang masih panas, kemungkinan harga CPO bisa kuat. Apalagi jika ada permintaan juga akan energi substitusi dari minyak bumi,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (29/5).
Kebijakan larangan impor produk CPO dari UE juga menjadi penghalang bagi potensi ekspor produk CPO Tanah Air. Solusinya, adalah menggunakan diplomasi ekonomi agar UE mencabut larangan tersebut. “Kebijakan UE itu berpotensi menimbulkan perang dagang, karena pasokan yang terbatas dan melimpah di saat yang bersamaan,” paparnya. Nafan pun merekomendasikan
accumulative buy untuk AALI dengan target harga terdekat Rp 6.300 per saham. Rekomendasi
hold juga diberikan untuk LSIP dengan target harga Rp 810 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari