KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah ekonom memproyeksikan neraca dagang Indonesia pada Maret 2019 akan mengalami defisit meskipun pada Februari 2019 lalu tercatat surplus. Hal itu disebabkan sejumlah harga komoditas ekspor yang menjadi andalan Indonesia belum meningkat dan impor naik. Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memproyeksikan neraca dagang Indonesia pada Maret 2019 lalu kembali defisit sebesar US$ 260 juta. Hal itu disebabkan impor yang meningkat David mengatakan, hal tersebut bisa dilihat dari indeks manufaktur yang menunjukkan peningkatan di bulan. "Melihat indeks manufaktur meningkat setelah sebelumnya relatif tidak sebegitu besar, artinya banyak yang mulai meningkatkan produksinya sehingga impor bahan baku juga membesar," ujar David, Jumat (12/4).
Tak hanya itu, adanya pemilu dan menjelang membuat impor barang baku dan barang konsumsi juga meningkat. "Kalau barang modal masih stagnan karena masih banyak
wait and see," tambah David. Menurut David, Indonesia yang masih bergantung kepada impor minyak mentah menjadi salah satu penyebab impor yang meningkat. Meskipun dinilai perluasan B20 sebenarnya sudah mengurangi impor minyak, ditambah dengan kebijakan pemerintah yang mewajibkan PT Pertamina menyerap minyak dari dalam negeri. Tapi kebijakan tersebut juga berdampak pada ekspor Indonesia yang berkurang. Kinerja Ekspor di Maret pun diperkirakan tak cemerlang lantaran harga berbagai komoditas seperti Crude Palm Oil (CPO), batubara serta karet yang menurun. Tak hanya itu, permintaan global atas komoditas Indonesia pun menurun. "Kita melihat volume perdagangan global itu menurun, jadi ekspor tidak besar karena harga komoditas juga masih menurun," terang David. Ekonom Bank Permata Josua Pardede memprediksi neraca perdagangan Maret 2019 akan defisit sebesar US$ 464 juta. Defisit ini disebabkan laju ekspor yang turun dan laju impor yang tumbuh melambat. Josua memperkirakan, laju ekspor turun 14,65% secara tahunan. Sementara, laju impor diperkirakan tumbuh melambat 4,81% secara tahunan. Sedangkan laju impor secara bulanan cenderung meningkat dibandingkan bulan sebelumnya. "Hal ini terindikasi dari aktivitas manufaktur Indonesia bulan Maret yang tercatat meningkat menjadi 51,2 dari bulan sebelumnya 50,1," jelas Josua saat dihubungi Kontan.co.id, Sabtu (13/4). Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih justru memprediksi neraca dagang Indonesia pada Maret 2019 berpeluang melanjutkan surplus seperti pada Februari 2019 lalu. Surplus bisa terjadi asalkan PT Pertamina konsisten menyerap minyak dari dalam negeri. Pada Februari 2019 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan surplus sebesar US$ 330 juta. Lana memperkirakan kalaupun terjadinya surplus neraca dagang pada Maret, nilainya tidak besar, paling banter sebesar US$ 300 juta. "Kalau benar Pertamina konsisten membeli minyak dari dalam negeri, bisa jadi net-nya surplus. Tetapi perkiraan saya surplusnya tak besar hanya sekitar US$ 300 jutaan," ujar Lana kepada Kontan.co.id, Jumat (12/4). Harga minyak yang relatif stabil juga membantu menurunkan impor minyak. Bahkan, menurut Lana, tidak adanya faktor musiman yang membuat orang menggunakan transportasi turut menekan impor minyak. Sebaliknya, Lana bilang, jika Pertamina tak konsisten menyerap minyak dari dalam negeri, neraca perdagangan justru bisa tercatat defisit. Pasalnya, banyak pengusaha dalam negeri yang mengimpor barang konsumsi sebagai persiapan puasa dan lebaran. Kebijakan pemerintah menekan impor seperti perluasan B20 pun dipandang belum maksimal lantaran harga minyak mentah masih di bawah US$ 70 per barel. Menurut Lana, bila harga minyak mentah sekitar US$ 70 hingga US$ 80 per barel, maka harga B20 lebih kompetitif sehingga lebih banyak produsen yang memproduksi B20. Di sisi ekspor, Lana pun mengatakan, kinerja ekspor Indonesia masih tertekan melihat volume permintaan impor dari negara mitra masih lemah. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penerapan bea masuk yang tinggi oleh India sehingga permintaan CPO rendah, pertumbuhan ekonomi China yang melambat, adanya keputusan Uni Eropa melarang CPO Indonesia. "Jadi ekspor kita tertekan terutama ekspor berbasis komoditas. Padahal ekspor utama kita CPO dan batubara. Karena itu sangat
urgent kita melakukan diversifikasi produk dan diversifikasi pasar," tutur Lana. Ekonom Standard Chartered Aldian Taloputra mengatakan, pihaknya memprediksi neraca dagang Maret 2019 akan mengalami defisit sebesar US$ 217 juta. "Pendorongnya lebih karena harga komoditas ekspor yang belum membaik," ujar Aldian saat dihubungi Kontan.co.id, Sabtu (13/4). Kendati demikian, dia memprediksi harga komoditas akan membaik di semester II-2019. Terutama karena pertumbuhan ekonomi global lebih stabil. "Juga karena
lower base di tahun sebelumnya," imbuh dia. Faktor pendorong defisit lainnya adalah permintaan impor yang meningkat sejalan dengan normalisasi hari kerja pada Maret 2019. Kendati meningkat, peningkatan ini masih dalam tahap wajar. "Secara tahunan kita pikir masih kontraksi tetapi lebih kecil dari periode sebelumnya," imbuh Aldian. Kenaikan indeks manufaktur domestik mengindikasikan kebutuhan impor bahan baku cenderung meningkat dibandingkan bulan sebelumnya. Selain itu, peningkatan nilai impor bulan Maret juga terefleksi dari peningkatan ekspor Tiongkok ke Indonesia yang tercatat tumbuh 68% dari bulan sebelumnya yang terkontraksi 40%. Di sisi lain, ekspor cenderung masih turun di tengah tren penurunan harga komoditas ekspor seperti kelapa sawit yang turun 4,5% secara bulanan dan batubara turun 3,4% secara bulanan. "Sehingga akan menekan kinerja ekspor Indonesia dari sisi harga," imbuh dia. Sementara itu, dari sisi volume, ekspor Indonesia diperkirakan tertahan oleh penurunan indikator aktivitas manufaktur mitra dagang utama Indonesia seperti Zona Euro, Amerika Serikat, Jepang dan India. Pengamat Ekonomi Bhima Yudhistira memproyeksikan neraca dagang Indonesia akan mengalami defisit pada Maret 2019 ini sebesar US$ 100 juta hingga US$ 200 juta. Proyeksi defisit ini terjadi lantaran harga minyak mentah yang meningkat pada Maret. Ia melanjutkan, selain harga minyak mentah yang mulai mendaki, kegiatan industri yang telah mulai melakukan normalisasi produksi kembali mendorong impor bahan baku dalam jumlah yang lebih besar.
Apalagi menurut Bhima, ekspor di Maret belum mengalami perbaikan yang signifikan. Bahkan, ekspor akan mengalami perlambatan secara
year on year. "Ini karena permintaan sawit dan karet global masih lemah," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Jumat (12/4). Lebih lanjut, ia menerangkan lemahnya permintaan global atas barang dari Indonesia pun disebabkan pertumbuhan global yang melambat, serta perang dagang yang masih terjadi. Penurunan permintaan ini berdampak pada harga komoditas yang rendah. Bhima mengingatkan perlunya kewaspadaan atas defisit yang meningkat jelang bulan puasa atau Ramadan. "Konsumsi masyarakat yang tinggi terhadap pangan mau tidak mau mendorong impor pangan lebih tinggi," jelas Bhima. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati