Simak Prospek Geotermal dalam Pengembangan EBT



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dinilai belum menjadi pilihan utama dalam pengembangan kapasitas pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) hingga tahun 2030, menyusul berbagai tantangan industri geotermal.

Peneliti Indef Mirah Midadan mengatakan terdapat sejumlah tantangan dalam pengembangan PLTP dibandingkan dengan pembangkit EBT lainnya, seperti memiliki tingkat risiko yang tinggi pada proses eksplorasi serta biaya investasi yang sangat besar. 

“Biaya konstruksinya tidak murah. Dan hal-hal seperti ini melekat pada pembangunan proyek PLTP,” ujarnya dalam diskusi publik bertajuk Quo Vadis Panas Bumi Indonesia, dikutip Selasa (11/4)


Berdasarkan skenario optimasi geotermal dan EBT merujuk Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2015-2050, kata Mirah, diproyeksikan total kapasitas pembangkit listrik pada 2030 dari sektor EBT paling besar berasal dari PLTA dan PLTS, masing-masing sebesar 25 giga watt (GW) dan 14 GW. Sementara untuk PLTP sendiri hanya menyumbangkan sekitar 9,3 GW.

Adapun untuk pembangkit listrik fosil masih menyumbangkan 63% dari total bauran energi pada 2030 dengan porsi 46,4 GW berasal dari batu bara, 38,4 GW dari minyak bumi dan 35 GW dari gas bumi. Sedangkan target kapasitas terpasang untuk seluruh jenis pembangkit listrik pada 2030 mencapai 190,3 GW.

Masih dalam skenario yang sama,  rata-rata total investasi pembangkit listrik panas bumi dan EBT lainnya sebesar US$11,19 miliar  per tahunnya berdasarkan kondisi eksisting hari ini.“Secara biaya akumulasi, pengembangan pembangkit geotermal juga masih lebih mahal dibandingkan dengan EBT lainnya, seperti tenaga biomassa, surya, dan air,” jelas Mirah.

Mirah turut menyoroti tantangan industri geotermal pada sisi sosial, misalnya gesekan antara pelaku usaha dengan masyarakat di lokasi pengembangan PLTP. Oleh karena itu, Indef merekomendasikan perlu adanya komunikasi dan pendekatan ke masyarakat lokal dengan strategi khusus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dina Hutauruk