JAKARTA. Di tahun kambing kayu ini PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) berencana menerbitkan obligasi global senilai US$ 350 juta melalui anak usahanya TBG Global Pte Ltd. Rencananya, dana tersebut akan dialokasikan untuk pembiayaan kembali alias
refinancing hutang-hutang perseroan. Surat hutang tersebut dijamin TBIG tanpa syarat dan tidak dapat ditarik kembali. Dana tersebut akan digunakan untuk membayar sejumlah hutang. Diantaranya, TBIG akan membayar kembali hutang berdasarkan perjanjian pinjaman revolving pada 21 November 2014 senilai US$ 300 juta. Sedangkan sisanya, akan digunakan untuk membanyar jumlah terutang berdasarkan fasilitas pinjaman revolving senilai US$ 300 juta yang jatuh tempo pada November 2015. Analis MNC Securities, Victoria Venny N Setyaningrum memandang langkah yang diambil perseroan memang tepat. Pasalnya, bisnis tower termasuk sebagai bisnis
capital intensive, dalam artian para perusahaan cenderung memerlukan modal yang besar untuk dijadikan dana belanja modal.
"Tentunya dengan menerbitkan
global bond ini berefek positif untuk perseroan terlebih lagi karena memilih pinjamannya dalam bentuk dollar AS lantaran sebagian besar utang perseroan berada dalam mata uang tersebut," ungkapnya saat dihubungi KONTAN. Victoria juga menilai, dengan merilis obligasi ini tak akan membebani keuangan TBIG. Pasalnya, sebelum melakukan hal itu perseroan pasti sudah memperhitungkan rasio hutangnya dengan berbagai pertimbangan. Ditambah, TBIG berhasil menjaga rasio-rasionya di level aman. Ia menyebutkan, untuk
net senior debt terhadap EBITDA selama kuartal III di tahun lalu yakni 3,24 kali. Sementara
net debt ratio atawa rasio pinjaman bersih terhadap EBITDA di periode yang sama adalah 4,63 kali. Sehingga ia memprediksikan TBIG akan menjaga rasio pinjaman bersihnya di kisaran 5 sampai 7 kali. "Dengan rasio tersebut TBIG masih mempunyai ruang untuk pendanaan lebih lanjut, dalam artian dari beban hutang masih bagus," tamba Victoria. Sementara Analis KDB Daewoo Securities, Mimi Halimin mengatakan, bagi TBIG aksi ini akan berdampak baik jika obligasi yang akan diterbitkan memiliki suku bunga yang lebih rendah. Begitu juga sebaliknya, jika suku bunga yang ditetapkan terlampau besar maka berpeluang untuk membebani hutang perseroan. Sekedar informasi surat utang tersebut memiliki tingkat suku bunga sebesar 5,25% dengan masa jatuh tempo pada 2022 mendatang dan akan dicatat di Bursa Efek Singapura. Tak hanya itu, di tahun ini TBIG juga seakan mengerem ekpspansi dengan hanya melakukan ekspansi organik. Berdasarkan pengakuan perseroan, TBIG akan menambah sekitar 2.000-3.000 tenan alias penyewaan. Hal ini seiring dengan penambahan 1.500-2.000 menara. Sedangkan untuk akuisisi, manajemen perseroan mengakui hingga kini belum memiliki rencana untuk itu. Untuk membangun menara dengan jumlah tersebut TBIG setidaknya memerlukan dana sekitar Rp 2 triliun. Dengan perhitungan, untuk membangun satu menaranya perseroan memerlukan dana investasi sekitar Rp 1 miliar. Dana tersebut pun akan berasal dari kas internal dan pinjaman bank. Terhitung per September 2014 TBIG memiliki total menara sebanyak 10.623 menara telekomunikasi, 967 shelter-only, dan 96 jaringan DAS. Melihat hal tersebut, Mimi bilang, jika TBIG melakukan penundaan ekspansi maka berpeluang bagi perseroan untuk tak mengalami pertumbuhan di tahun ini. Sehingga ia memperkirakan di tahun ini pendapatannya akan cenderung stagnan mulai dari top line hingga bottom line. Kendati demikian, ia menilai TBIG masih memiliki prospek yang baik dalam jangka panjang. Lantaran, perseroan termasuk perusahaan menara yang memiliki market cap terbesar dan kapasitas produksinya cukup tinggi dibandingkan para pesaingnya. "Saat ini TBIG memiliki EBITDA margin yang besar dan tenancy ration yang lebih bagus dari yang lainnya," tukas Mimi. Senada dengan mimi, Victoria juga mengatakan secara fundamental sebagian besar kinerja emiten menara tumbuh di tahun lalu. Selain memiliki market cap yang besar, TBIG juga merupakan perusahaan yang aktif berekpansi serta aksi korporasi yang dilakukan dinilainya cukup terlaksana dengan baik. Dari sisi industri, ia juga menilai industri tower masih positif di tahun ini. Seiring dengan peningkatan kebutuhan layanan data, penetrasi smartphone di Indonesia dan peningkatan teknologi dan tren konsolidasi operator. Selain itu kondisi geografis Indonesia juga menyebabkan emiten telekomunikasi kurang tertarik mengembangkan jaringan lewat kabel optik yang ditanam dalam tanah karena memiliki resiko yang lebih besar," ungkapnya. Sehingga membuat para perusahaan lebih memilih menyewa menara telekomunikasi untuk memperluas jaringan. Apalagi saat ini para operator lebih memilih outsource menara ke perusahaan penyewaan menara daripada membangun menaranya sendiri, karena dinilai lebih efisien dan biaya yang dikeluarkan cenderung murah. Sedangkan tantangan yang dialami perusahaan antara lain mengenai ketersediaan lahan. Seperti diketahui, harga lahan yang terus meningkat dan dalam hal pengurusan izin yang masih cukup sulit masih membayangi bisnis TBIG. Analis Mandiri Sekuritas Ariyanto Kurniawan dalam risetnya pada 2 Desember 2014 memperkirakan, di tahun ini pendapatan TBIG bisa mencapai Rp 5.3 triliun atau naik daroi target tahun lalu yang sebesar Rp 3,30 triliun. Sedangkan untuk laba bersihnya akan naik menjadi Rp 1,70 triliun di tahun ini dan Rp 1,51 triliun di tahun lalu.
Hal itu didasarkan dari perseroan yang menjalin kesepakatan baru dengan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM). Dimana, nantinya TLKM lewat Telkomsel akan membangun sekitar 50% dari total menara baru. Hal itu dinilai Ariyanto, TLKM merupakan penyewa yang cukup menjanjikan. Dengan demikian Mimi merekomendasikan hold dan masih merevisi target harga menunggu laporan keuangan di akhir tahun 2014. Lalu, Ariyanto merekomendasikan buy di harga Rp 10.800 dan Victoria juga menganjurkan beli di harga Rp 10.280. Rabu (11/2) harga saham TBIG turun 2,71% di level Rp 8.975 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa