KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks saham LQ45 merosot 0,93% pada awal pekan ini (5/2). Laju LQ45 berbalik arah usai menanjak 3,49% sepanjang pekan lalu. Identik dengan saham bluechip, pergerakan konstituen indeks LQ45 punya arah yang berbeda-beda. Pada pekan lalu, lonjakan saham emiten bank big caps menjadi pendorong indeks. Seperti PT Bank Central Asia Tbk (
BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (
BBRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (
BBNI) dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (
BMRI) yang terdongkrak sentimen positif dari rilis kinerja keuangan tahun 2023 yang mentereng. Berbeda arah, tak sedikit saham LQ45 yang sedang merana. Beberapa saham melandai dan secara
year to date (YtD) masih bergerak minus. Contohnya PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (
EMTK), PT Aneka Tambang Tbk (
ANTM), PT Harum Energy Tbk (
HRUM), PT Vale Indonesia Tbk (
INCO) dan PT Astra International Tbk (
ASII).
Di tengah fluktuasi pasar dan sejumlah sentimen yang mengiringi, investor perlu cermat menyaring saham bluechip yang masih punya valuasi dan prospek menarik. Head of Equities Investment Berdikari Manajemen Investasi, Agung Ramadoni mengamati empat saham big bank (BBCA, BBRI, BMRI dan BBNI) secara valuasi sudah terbilang tinggi. Agung menghitung Price to Book Value (PBV) BBCA sebesar 4,3 kali. BBRI memiliki PBV 2,6 kali, BMRI 2,2 kali dan BBNI 1,4 kali. Relatif lebih tinggi dibandingkan rata-rata PBV sektor keuangan yang ada di level 1,2 kali. Meski begitu, daya tarik suatu saham bukan hanya dari sisi valuasi.
Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham BBCA, HMSP, dan ASRI Untuk Perdagangan Selasa (6/2) Agung menyoroti dua faktor penting yang membuat empat saham big bank tersebut tetap menarik di mata investor.
Pertama, katalis dari laporan keuangan yang menunjukkan kemampuan menjaga pertumbuhan laba. Sentimen pun akan berlanjut untuk mengantisipasi musim pembagian dividen.
Kedua, sentimen global dan domestik yang mengiringi bursa saham, terutama dari Pemilu & Pilpres yang rentan membawa risiko ketidakpastian. Dalam momentum ini pelaku pasar, terutama investor asing cenderung bersikap
risk-off atau mengindari saham dengan volatilitas tinggi. Dus, investor memilih saham yang pergerakan harganya lebih stabil dengan rekam jejak pencapaian laba dan pembagian dividen yang menarik. "Itu kenapa saham bank besar yang secara valuasi cenderung tidak murah, masih banyak dibeli. Tetap menjadi pilihan di tengah ketidakpastian global meski limited upside," ungkap Agung kepada Kontan.co.id, Senin (5/2). Di sisi lain, investor bisa memilah saham-saham yang secara valuasi cenderung masih murah. Agung mencontohkan saham PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (
BBTN) dengan PBV di bawah 1 kali. Kemudian, di sektor infrastruktur telekomunikasi ada PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (
TLKM) dan PT XL Axiata Tbk (
EXCL). Agung mengukur Enterprise Value (EV) to EBITDA TLKM ada di level 5,3 kali. Sedangkan EV to EBITDA EXCL sebesar 4,3 kali. Menurut Agung, posisi TLKM dan EXCL relatif lebih murah dibandingkan rata-rata industrinya sebesar 10,3 kali. Associate Director Erdikha Sekuritas, Yunia Lie menambahkan sejumlah saham LQ45 yang punya valuasi menarik. Yunia turut melirik BBTN yang memiliki PBV 0,61 kali dan Price to Earnings Ratio (PER) 6 kali. PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) dengan PER 8 kali dan PBV 0,69 kali serta PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) yang punya PER 6 kali dan PBV 0,95 kali. Yunia mengamini, empat saham big bank tetap menarik sebagai pilihan investasi jangka panjang. Di samping indikator valuasi, investor juga bisa mulai mencermati saham yang punya
dividend yield tinggi seperti emiten batubara PT Adaro Energy Indonesia Tbk (
ADRO), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (
ITMG) dan PT Bukit Asam Tbk (
PTBA).
Baca Juga: Analis Rekomendasikan Hold Saham ANJT, Simak Ulasannya Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus mengingatkan, indikator valuasi cocok sebagai penyaring saham untuk investasi jangka panjang. Dalam hal ini, investor perlu cermat untuk mengukur prospek kinerja emiten beserta sektor industrinya. Penilaian valuasi pun turut mempertimbangkan potensi kenaikan harga (potential upside) pada saham tersebut. "Berbicara valuasi yang murah, berarti untuk jangka panjang. Kalau jangka pendek, nggak ada mahal atau murah, tapi lebih ke analisa teknikal untuk trading," ungkap Nico.
Rekomendasi dan Strategi Koleksi
Sementara itu, saham-saham LQ45 yang sedang melandai berpotensi membuat valuasinya lebih menarik. Investor bisa mempertimbangkan strategi
averaging down untuk mengoleksi saham dengan harga murah memanfaatkan momentum tersebut. Tapi, Nico memberikan catatan bahwa langkah ini tergantung dari durasi investasi dan profil risiko investor. Selain itu, jika ingin mengoleksi saham yang sedang turun, perlu cermat menakar sentimen yang membuat harganya merosot. Agung mencontohkan penurunan harga ASII dan PT Unilever Indonesia Tbk (
UNVR) membuat valuasi lebih murah dibandingkan historisnya. Meski begitu, investor juga mengukur prospek pertumbuhan kinerja emiten dengan memetakan potensi di industrinya. "Secara historis sudah terbilang murah. Cuman bagaimana pertumbuhan (ASII) di tengah ekspansi agresif mobil listrik di Indonesia. Begitu juga UNVR dengan kompetisi yang lebih ketat," kata Agung. Sehingga, pelaku pasar tetap harus selektif karena tidak semua saham bluechip yang sedang merosot menarik di akumulasi. Untuk saat ini, Agung menilai investor layak menerapkan strategi dollar cost averaging untuk saham ASII, UNVR dan EMTK.
Pengamat Pasar Modal & Founder WH-Project William Hartanto menimpali, strategi
average down berarti membeli dengan nominal dana yang sama pada persentase penurunan tertentu. Jika ingin menerapkan strategi ini, William menyarankan agar cermat melihat momentum teknikal untuk mengukur trend pergerakan sahamnya. "Supaya nggak
average down kebanyakan dan dana keburu habis. Strategi ini juga lebih efektif untuk saham-saham investasi jangka panjang," ujar William.
Secara teknikal, William menilai momentum mengoleksi saham-saham LQ45 akan lebih menarik jika IHSG mengalami koreksi terlebih dulu. Sinyalnya adalah ketika IHSG mendekati support 7.090, tapi tidak mematahkan tren yang sedang berjalan. Rekomendasi sahamnya adalah TLKM, BBRI, dan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (
CPIN). Sementara itu, Yunia melirik saham ASII yang secara valuasi relatif murah dengan PER 7 kali dan PBV 1,13 kali. Dia menilai, saham ASII akan lebih menarik dikoleksi ketika harganya di bawah Rp 5.000. Kemudian, Yunia merekomendasikan BBTN dengan target harga Rp 1.300, PGAS dengan target Rp 1.200 dan INDF dengan target harga Rp 6.800. Sedangkan Nico menjagokan sejumlah saham yang punya potential upside di LQ45. Di antaranya ada BBCA, BBRI, BMRI, BBNI, TLKM, EXCL, INDF, ASII, ADRO, INCO PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (
ICBP), PT AKR Corporindo Tbk (
AKRA), PT Medco Energi Internasional Tbk (
MEDC), dan PT Barito Pacific Tbk (
BRPT). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari