Simak rekomendasi saham emiten perkebunan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja sektor perkebunan tercatat sebagai sektor yang tertekan paling dalam. Secara year to date hingga Jumat (8/12), sektor perkebunan minus 13,63%. Padahal, pada periode yang sama, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 13,86%.

Tahun depan, diprediksi sektor perkebunan masih menghadapi tantangan. Salah satunya, penurunan harga crude palm oil (CPO) akibat adanya kelebihan pasokan atau over supply. Selain itu, kebijakan negara-negara penting pengguna komoditas ini juga layak dicermati.

Thennesia Debora, analis BNI Sekuritas menyatakan, CPO tahun depan masih positif. Meski demikian, pihaknya memberikan outlook netral pada sektor perkebunan. Sebab, masih ada beberapa tantangan yang dihadapi sektor ini. "Isunya over supply, bea masuk CPO di India yang naik 15%, pembatasan impor CPO Eropa. Ini isu negatifnya," kata Thennesia kepada KONTAN, Minggu (10/12).


Selain itu, rilis data ekspor Malaysia yang menurun juga semakin memperkuat isu over supply. Hal ini menandakan adanya lonjakan produksi CPO. Secara historis, penjualan ekspor Malaysia cenderung flat dan turun. Selain itu, berkurangnya efek El Nino, juga membuat curah hujan kembali normal, sehingga produktivitas kebun menjadi naik.

Menurutnya, tahun depan, harga CPO bisa tertekan pada kisaran RM 2.700 per metrik ton. Namun, lanjut Thennesia, ada sentimen lain yang bisa menguatkan sektor ini, yakni kenaikan suku bunga The Federal Reserves. Ini bisa menguatkan dollar Amerika Serikat, sehingga melemahkan nilai ringgit Malaysia.

Diantara beberapa emiten, Thennesia merekomendasikan buy saham PT PP London Sumatra Plantation Tbk (LSIP) dengan target harga Rp 1.920, dan saham PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dengan target harga Rp 19.100.

Edward Lowis, analis UOB KayHian menyatakan kenaikan pajak impor India untuk minyak nabati, termasuk CPO dan minyak sawit olahan, dapat berdampak jangka pendek bagi emiten, termasuk AALI. China dan India merupakan konsumen terbesar produk hilir AALI. "Sehingga kenaikan pajak kemungkinan akan menghasilkan volume penjualan minyak sawit mentah yang lebih rendah, daripada produk CPO mulai awal tahun depan," terang Edward dalam riset Kamis (7/12).

Namun, dia berharap hal ini hanya dalam jangka pendek. Pasalnya, India masih perlu mengimpor volume yang sangat besar untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat. "Penjualan minyak sawit olahan AALI biasanya mencapai 30%-35% dari total volume penjualan," lanjutnya.

Atas kondisi tersebut, Edward memprediksi ada penurunan laba bersih AALI sebesar 14,59% yoy pada tahun depan. Ia memprediksi laba bersih AALI tahun 2018 sebesar Rp 1,66 triliun. Sedangkan laba bersih 2017 diprediksi mencapai Rp 1,94 triliun.

Atas kondisi tersebut, dia menurunkan rekomendasi saham AALI menjadi sell dengan target harga Rp 12.000. Target tersebut didasarkan dengan menghitung price to earning ratio (PER) tahun depan 14 kali. "Harga masuk pada Rp 10.800," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini