KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten ramai mendapat fasilitas kredit atau menarik pinjaman dari perbankan. Sebagian digunakan untuk persiapan ekspansi, membiayai modal kerja dan memperkuat struktur permodalan. Emiten dari konglomerasi milik taipan Prajogo Pangestu terbilang rajin mendulang pinjaman dari bank. Terbaru ada PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (
CUAN) yang menandatangani perjanjian fasilitas kredit dari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (
BMRI) pada 13 September 2024. CUAN mendapatkan fasilitas kredit berjangka dengan nilai maksimal sebesar Rp 700 miliar.
"Seluruh pinjaman yang diperoleh Perseroan ini akan dipergunakan untuk membiayai gap
cashflow," ungkap Sekretaris Perusahaan CUAN Robertus Maylando Siahaya dalam keterbukaan informasi Rabu (18/9). CUAN sebelumnya meneken perjanjian fasilitas kredit dengan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI (
BBNI) pada 30 Agustus 2024. CUAN mendapat fasilitas kredit berjangka dengan nilai maksimal sebesar Rp 775 miliar, yang akan dipakai untuk membiayai kegiatan perusahaan secara umum.
Baca Juga: Rekomendasi Saham-Saham yang Banyak Dibeli Investor Asing Pada tanggal yang sama, entitas usaha CUAN, PT Petrosea Tbk (
PTRO) juga meneken perjanjian fasilitas berjangka senior dengan BNI senilai Rp 2,32 triliun, dengan suatu opsi accordion hingga Rp 775 miliar. Fasilitas ini akan digunakan untuk mendanai belanja modal terkait pembelian aset usaha. Masih dari konglomerasi Prajogo Pangestu, PT Chandra Asri Pacific Tbk (
TPIA) telah menggunakan opsi
greenshoe dalam fasilitas pinjaman sindikasi berjangka terkait keberlanjutan setara US$ 600 juta. Ditandatangani pada Mei 2024, TPIA meningkatkan fasilitas tersebut menjadi setara dengan US$ 800 juta. Fasilitas tersebut disediakan oleh sejumlah mitra perbankan dari berbagai negara. Termasuk Indonesia, Singapura dan Thailand. Selain perusahaan milik Prajogo Pangestu, sederet emiten lain juga mendapatkan fasilitas pinjaman jumbo dari perbankan. Contohnya PT Hartadinata Abadi Tbk (
HRTA) yang melakukan penarikan atas fasilitas kredit dari Bank Mandiri pada 29 Juli 2024. Limit dari perjanjian kredit ini mencapai Rp 2,4 triliun, dengan tujuan untuk
take over utang bank existing dan kebutuhan modal kerja. PT Erajaya Swasembada Tbk (
ERAA) dan tiga anak usahanya menekan perjanjian perpanjangan fasilitas kredit pada 12 September 2024. Limit fasilitas kredit modal kerja transaksional mencapai Rp 3 triliun, fasilitas Standby Letter of Credit (SBLC) US$ 150 juta, serta fasilitas treasury lines dengan limit nasional US$ 150 juta dan
limit credit equivalent US$ 4,5 juta. Emiten lain yang meraup pinjaman dari bank di antaranya ada PT Buana Finance Tbk (
BBLD) dengan fasilitas pembiayaan bergulir sebesar Rp 300 miliar. Contoh lainnya adalah PT Habco Trans Maritima Tbk (
HATM), PT Sinergi Multi Lestarindo Tbk (
SMLE) dan PT MPX Logistics International Tbk (
MPXL). Senior Vice President & Head of Retail Henan Putihrai Asset Management, Reza Fahmi Riawan mengamati penarikan pinjaman dari perbankan oleh emiten bisa memiliki berbagai tujuan. Banyak emiten yang melihat kesempatan dari pinjaman ini sebagai bagian dari persiapan untuk menggelar ekspansi. "Ekspansi bisnis memerlukan investasi, baik dalam bentuk perluasan fasilitas, pengembangan produk, atau masuk ke pasar baru. Bisa jadi penarikan pinjaman ini adalah bagian dari strategi emiten untuk memperluas bisnis mereka," kata Reza kepada Kontan.co.id, Senin (23/9). Di sisi lain, banyaknya emiten yang mendapat fasilitas kredit dalam beberapa bulan terakhir bisa menjadi tanda positif yang menunjukkan kepercayaan perbankan terhadap prospek bisnis emiten. "Terutama dalam kondisi ekonomi yang sedang pulih, fasilitas kredit dapat membantu emiten memperkuat posisi mereka," imbuh Reza.
Baca Juga: Intip Prediksi IHSG dan Rekomendasi Saham Hari Ini (24/9) Analis Stocknow.id Muhammad Thoriq Fadilla menambahkan, penarikan dan peningkatan fasilitas kredit berbagai emiten bisa dilihat sebagai strategi untuk memanfaatkan suku bunga yang berpotensi menurun di masa mendatang. Secara umum, penurunan suku bunga acuan memberikan insentif bagi korporasi untuk mendapatkan kredit dengan biaya yang lebih rendah. "Dengan suku bunga yang diperkirakan akan menurun, pinjaman dari perbankan menjadi lebih menarik karena biaya pinjaman lebih rendah. Ini memungkinkan emiten mendapat pendanaan dengan beban bunga lebih ringan, sehingga dapat memperbaiki arus kas dan mengelola utang dengan lebih efisien," terang Thoriq. Fenomena ini juga menunjukkan optimisme emiten terhadap pemulihan dan prospek ekonomi. Hal tersebut mendorong emiten untuk mengambil lebih banyak likuiditas demi ekspansi atau penstabilan bisnis mereka. "Pinjaman bank juga sering kali digunakan untuk merespon kondisi pasar yang sedang berkembang. Misalnya, perusahaan di sektor infrastruktur atau energi memanfaatkan kredit untuk menangkap peluang di pasar," imbuh Thoriq. Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengingatkan meskipun tingkat suku bunga acuan terpangkas, biasanya suku bunga pinjaman masih membutuhkan waktu yang lebih lama untuk turun. Namun pinjaman perbankan masih memberikan flexibilitas yang jauh lebih tinggi daripada penerbitan obligasi dalam masa transisi penurunan tingkat suku bunga ini. "Pinjaman tetap dapat dikatakan baik, jika digunakan untuk yang produktif. Apabila digunakan untuk ekspansi bisnis, maka pertanyaannya seberapa cepat bisnis baru dapat menciptakan revenue sehingga memberikan dampak terhadap kinerja keuangan mereka," kata Nico. Sementara itu, Senior Research Analyst Lotus Andalan Sekuritas Fath Aliansyah melihat penarikan fasilitas pinjaman sudah menjadi bagian rencana keuangan emiten, baik untuk modal kerja maupun investasi. Dengan suku bunga acuan yang mulai mengalami penurunan dan berpeluang terjadi pemangkasan berikutnya, emiten bisa mengurangi beban bunga dengan mendapatkan pinjaman berbunga lebih rendah.
"Secara umum harus dilihat kembali apakah penarikan (pinjaman) ini dengan bunga lebih rendah atau tidak. Biasanya baru terlihat di laporan keuangan berikutnya," ungkap Fath.
Langkah tersebut bisa memperbaiki performa keuangan emiten pada kuartal IV-2024 atau tahun 2025. Termasuk bagi emiten yang melakukan restrukturisasi seperti PT Alam Sutera Realty Tbk (
ASRI). Sekadar mengingatkan, pada 6 Juni 2024 lalu ASRI memperoleh fasilitas pinjaman dari PT Bank Central Asia Tbk (BCA) senilai Rp 3,9 triliun untuk pembayaran kembali (refinancing). Di antara emiten yang baru-baru ini menarik dan mendapat fasilitas pinjaman dari perbankan, Nico melirik saham PTRO dan ERAA. Sementara Thoriq menjagokan saham ERAA dengan buy pada harga Rp 458 - Rp 460 untuk target Rp 484, kemudian buy HRTA di area Rp 390 - Rp 392 untuk target harga Rp 416. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari