KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kondisi ketidakpastian masih membayangi pasar finansial. Belum jelasnya arah kebijakan suku bunga dan potensi eskalasi perang akan sangat berpengaruh bagi keputusan investasi. Seperti diketahui, data ekonomi Amerika Serikat (AS) yang kuat mengurangi sentimen penurunan suku bunga. Risalah rapat The Fed terbaru juga menunjukkan beberapa pejabat bersedia memperketat kebijakan lebih lanjut jika inflasi kembali melonjak. Di sisi lain, perang masih belum berkesudahan di timur tengah. Potensi konflik dapat sewaktu-waktu meletup seiring kematian Presiden Iran Ebrahim Raisi menimbulkan spekulasi terjadinya perang dunia ketiga.
Perencana Keuangan dari Finansia Consulting Eko Endarto mengatakan, pada dasarnya pelonggaran kebijakan moneter untuk menumbuhkan kembali aktivitas ekonomi. Dengan asumsi tidak ada kenaikan suku bunga acuan dan kurs rupiah masih bertahan, mestinya tidak akan ada aksi radikal dari pemerintah. Eko berujar, meski kondisi pasar keuangan global masih dipenuhi ketidakpastian, perekonomian domestik masih cukup resilien. Dalam jangka pendek, perekonomian domestik justru dipandang optimis menjelang pergantian pemerintahan baru. Baca Juga:
Masih Disetir Eksternal, Rupiah Diperkirakan Lanjut Melemah Pada Selasa (28/5) “Kondisi dalam negeri cukup baik bahkan optimistis setidaknya sampai November 2024,” ujar Eko saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (27/5). Eko menjelaskan, kurs rupiah biasanya akan bergerak turun (menguat) saat bergantinya kepemimpinan, lalu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga akan meningkat. Namun sekitar 6 bulan setelahnya, pemerintahan baru akan diuji. Di samping itu, Eko menilai, memang kondisi masih agak was-was seiring masih maraknya terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pertumbuhan ekonomi juga cukup stagnan, serta masih tingginya angka impor. Masalah-masalah ini dikhawatirkan bakal menjadi risiko dalam jangka panjang. “Kekhawatiran jangka panjang ini mesti menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Jangka pendek mungkin akan baik, tetapi bukan berarti tidak menyimpan risiko,” tambahnya. Oleh karena itu, Eko menyarankan, masyarakat untuk mengamankan uang kas supaya berjaga-jaga karena likuiditas masih sangat dibutuhkan dalam jangka pendek. Investor juga harus memikirkan investasi jangka panjang menggunakan dana khusus bukan untuk kebutuhan spekulasi karena kondisi ekonomi saat ini masih belum jelas. Lebih baik untuk saat ini mengurangi spekulasi pada aset-aset tertentu. Apabila kondisi perekonomian sudah membaik, barulah bisa mencoba spekulasi pada aset untuk memperoleh keuntungan besar. “Kurangi jenis-jenis aset spekulasi tinggi seperti properti dan saham untuk beralih ke emas atau obligasi yang lebih stabil sebagai alternatif di masa ketidakpastian ini,” jelas Eko. CEO PT Pinnacle Persada Investama (Pinnacle Investment) mengatakan bahwa perlu adanya penyesuaian portofolio investasi dalam situasi di tengah ketidakpastian seperti ini, di mana ada optimisme terkait penurunan suku bunga oleh The Fed namun diiringi risiko geopolitik yang tinggi. “Komposisi portofolio investasi perlu disesuaikan dengan toleransi risiko masing-masing investor,” ungkap Guntur kepada Kontan.co.id, Minggu (26/5). Baca Juga:
Ada Sentimen Rebalancing Indeks, Simak Rekomendasi Saham Pilihan IPOT pada Minggu Ini Guntur menyebutkan, investor dapat menyusun portofolio investasi sesuai dengan berbagai tipe investor yakni agresif, moderat dan konservatif. Bagi investor agresif, sekitar 65% porsi investasi dapat dititikberatkan pada instrumen saham ataupun reksadana saham. Investor dapat fokus pada saham sektor teknologi, kesehatan, dan perusahaan yang memiliki fundamental kuat dan potensi pertumbuhan tinggi. Sedangkan, reksadana saham untuk diversifikasi dan manajemen risiko yang lebih baik. Reksadana obligasi dan pasar uang juga bisa diperhatikan untuk aset kelas yang lebih stabil dan likuiditas yang tinggi. Investor bisa menyisihkan investasi sekitar 20% pada aset reksadana obligasi dan pasar uang. Investor berkarakter agresif juga bisa mencermati kripto dengan memasukkan aset sekitar 5%. Sebab, kripto dapat memberikan imbal hasil atau
return tinggi dengan volatilitas dan risiko sangat tinggi pula. Sebagai pelengkap, porsi investasi sekitar 10% perlu dimasukkan ke instrumen emas sebagai lindung nilai. Logam mulia akan berfungsi sebagai lindung nilai atau
safe haven terhadap ketidakpastian geopolitik. Guntur melanjutkan, investor moderat adalah mereka yang menginginkan keseimbangan antara risiko dan
return. Oleh karena itu, sekitar 40-50% porsi investasi dapat dimasukkan ke saham dengan memilh saham blue chip dan sektor yang stabil seperti utilitas dan
consumer staples. Baca Juga:
Pemerintah Lelang Delapan Seri SUN Pada Selasa (28/5) Target Indikatif Rp 33 Triliun Kemudian, sekitar 20-30% bisa dimasukkan ke reksadana campuran sebagai instrumen gabungan antara saham dan obligasi untuk diversifikasi. Serta, obligasi Pemerintah sekitar 20-30% untuk memberikan stabilitas dan penghasilan tetap. Investor moderat juga perlu membeli emas dengan porsi sekitar 10-15% sebagai lindung nilai.
Sementara itu, Guntur berujar, bagi investor konservatif yang lebih mengutamakan keamanan dan stabilitas daripada imbal hasil dapat memasukkan investasi pada obligasi pemerintah dengan porsi sekitar 40-50%. Surat Utang Negara (SUN) akan memberi stabilitas dan penghasilan tetap yang lebih aman. Setelah itu, aset dapat dialokasikan pada reksadana pendapatan tetap sekitar 20-30% untuk diversifikasi surat utang yang berisiko rendah. Emas juga masih dibutuhkan dengan porsi sekitar 20-25% sebagai lindung nilai terhadap risiko geopolitik saat ini. Selain itu, Guntur mengatakan, cash atau deposito juga diperlukan investor konservatif untuk likuiditas dan keamanan maksimal. Investor juga dapat mempertimbangkan reksadana Indeks atau ETF sebagai eksposur pasar yang lebih luas dengan manajemen risiko yang lebih baik. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari