KONTAN.CO.ID - Isu kesehatan kini menjadi pusat perhatian pemerintah dan masyarakat seiring pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) yang telah melanda Indonesia lebih dari tujuh bulan. Padahal, Indonesia juga belum terbebas dari masalah kesehatan lain, seperti penyakit kronis yang dipicu akibat rokok. Pandemi Covid-19 dan isu penyakit akibat rokok telah menciptakan beban ganda kesehatan nasional yang sangat besar. Dengan populasi hampir 270 juta jiwa dan negara terpadat ketiga di dunia, Indonesia memiliki lebih dari 75 juta perokok. Prevalensi merokok juga terus naik dan ini berbanding terbalik dengan negara berkembang lain yang turun. Kini banyak sekali orang berisiko terjangkit penyakit kronis seperti jantung, stroke, hipertensi, kanker paru-paru, diabetes, hingga gangguan pernafasan akibat terpapar asap rokok. Rokok pun diperkirakan dapat membunuh sekitar 226.000 jiwa atau 14,7% dari total kematian orang Indonesia setiap tahunnya. Kematian dini dan morbiditas akibat merokok menjadi beban signifikan pada sistem kesehatan nasional. Biaya kesehatan di Indonesia diperkirakan US$ 1,2 miliar (Rp 17,46 triliun) per tahun.
Ibarat simalakama, akar masalah epidemi rokok sangat rumit dan multifaktor. Secara budaya, merokok telah jadi bagian kehidupan dan interaksi sosial sehari-hari masyarakat dari generasi ke generasi. Kurangnya kesadaran dan sikap abai akan risiko kesehatan ditambah keengganan mengubah kebiasaan berisiko juga turut memperkeruh situasi. Namun, secara ekonomi Indonesia merupakan produsen rokok besar dan karena kepentingan ekonomi-politik yang kuat ditambah berbagai celah kebijakan, rokok mudah dibeli dengan harga relatif rendah. Larangan penjualan rokok kepada anak di bawah 18 tahun juga belum ditegakkan secara efektif. Lantas, bagaimana strategi dan pilihan kebijakan untuk melawan epidemi rokok, terlebih di tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda? Belajar dari berbagai negara lain yang berhasil menurunkan prevalensi merokok, strategi yang dapat dipakai adalah menggabungkan intervensi perilaku dan farmakologi tradisional yang sudah ada dengan pendekatan pengurangan risiko kesehatan (
harm reduction) dengan memperkenalkan penggunaan produk tembakau alternatif (PTA). Berbagai bukti ilmiah memperlihatkan PTA secara signifikan dapat mengurangi risiko kesehatan dibandingkan terus merokok. Khusus Indonesia, ada beberapa pilihan kebijakan yang perlu disusun demi menjalankan strategi itu.
Pertama, kebijakan terkait keamanan produk. Kebijakan ini diperlukan dalam menetapkan standar keamanan produk serta mengharuskan pencantuman informasi yang akurat, sesuai dengan karakteristik produknya.
Kedua, terkait pengaturan dan notifikasi. Kebijakan ini mengatur secara proporsional PTA sesuai bukti ilmiah, penerapan prinsip dan pengaturan yang baik, respons terhadap perubahan pasar atau bukti baru, serta pengenalan rezim notifikasi proporsional dan menghindari sistem otorisasi pra-pasar. Indonesia dapat belajar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (US FDA) yang memiliki mekanisme otorisasi berdasarkan bukti ilmiah. Jika suatu produk tembakau alternatif dapat dibuktikan mengurangi risiko kesehatan, maka produk tersebut tidak hanya dapat dipasarkan namun sesuai dengan tujuan kesehatan masyarakat.
Ketiga, terkait perpajakan. Pada prinsipnya, pengenaan cukai bertujuan untuk mengubah perilaku yang membawa dampak buruk atau memiliki eksternalitas negatif. Dengan demikian, PTA yang rendah risiko semestinya dikenai cukai lebih rendah daripada rokok, atau bahkan nol. Sebaliknya, rokok konvensional memiliki tarif cukai lebih tinggi. Ini untuk mempertegas perbedaan profil risiko kedua produk tersebut.
Keempat, terkait penggunaan. Dibutuhkan kerangka kebijakan yang tepat mengenai pembatasan akses anak di bawah 18 tahun, yang fokus pada praktik pemasaran yang baik dan didasari pada bukti ilmiah yang teruji. Selain itu kebijakan tersebut juga harus memuat informasi yang jelas dan akurat sesuai profil risiko agar perokok dewasa memperoleh penjelasan yang tepat.
Kebijakan komprehensif Lebih lanjut pengaturan peringatan kesehatan rokok dengan PTA harus dibedakan sesuai profil risikonya dan yang tak kalah penting adalah tentang pendidikan. Pemerintah perlu mendorong lembaga terkait bersama media memberikan edukasi tentang kebijakan pengendalian tembakau yang lebih luas termasuk pendidikan berbasis bukti ilmiah tentang penggunaan PTA. Memang harus diakui implementasi pilihan kebijakan itu akan menghadapi berbagai tantangan seperti resistensi dari perusahaan tembakau, kurangnya pemahaman dan pemilihan bukti ilmiah yang bias untuk mendukung argumen pro-kontra sehingga melahirkan posisi 'ideologis' yang sulit direkonsiliasi, serta belum adanya peraturan khusus PTA. Hambatan lain adalah banyaknya agenda prioritas lembaga negara, perbedaan kebijakan penggunaan PTA di berbagai negara, posisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menentang penggunaan PTA, kurangnya data akurat, hingga lemahnya suara publik yang menilai PTA sebagai cara berhenti merokok. Demi mengatasi berbagai tantangan itu, ada sejumlah langkah yang bisa ditempuh.
Pertama, menyelenggarakan dialog terbuka, inklusif dan konstruktif di antara semua pemangku kepentingan utama berdasarkan kepercayaan dan tujuan yang disepakati bersama untuk mengurangi prevalensi merokok dan meningkatkan kesehatan masyarakat.
Kedua, membentuk komite ahli yang kredibel, dihormati, netral dan independen untuk mengevaluasi secara objektif semua bukti dan menyusun rekomendasi.
Ketiga, mengatur PTA melalui regulasi yang fokus terhadap produk ini. Keempat, mengembangkan penelitian prioritas, memperkuat kapasitas penelitian nasional dan kolaborasi antar lembaga, serta menyediakan dana penelitian yang cukup untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan.
Kelima, menyiapkan strategi pendidikan dan komunikasi yang efektif dan terkoordinasi melalui media tradisional dan media sosial termasuk pemanfaatan strategi kesehatan digital secara efektif.
Keenam, memberikan dukungan penguatan masyarakat sipil agar memiliki suara lebih kuat untuk memberikan masukan kebijakan pemerintah.
Dengan serangkaian strategi dan kebijakan yang komprehensif tersebut diharapkan masalah kesehatan dan prevalensi merokok akan berkurang. Yang pasti, ada kebutuhan mendesak untuk mempertimbangkan keberadaan PTA demi melawan epidemi merokok di Indonesia. Penulis : Tikki Pangestu Visiting Professor Yoo Loo Lin School of Medicine National University of Singapore Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti