KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa tarif listrik dan harga eceran BBM jenis premium dan solar/biosolar tidak akan mengalami kenaikan hingga 31 Maret 2018. Pemerintah sendiri pada tahun depan mengasumsikan harga minyak dunia dalam APBN 2018 sebesar US$ 48 per barel. Padahal, harga minyak dunia sekarang sudah di US$ 60 hingga US$ 64 per barel. Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, subsidi energi tidak akan cukup karena asumsi harga minyak hanya US$ 48 per barel. Ia melihat, kemungkinan tahun depan harga minyak bisa sampai US$ 80 per barel.
Apabila pemerintah tidak menambah subsidi energi atau menyesuaikan harga BBM dan listrik, yang akan menanggung selisih antara harga keekonomian dan subsidi adalah Pertamina dan PLN. Oleh karena itu, utang Pertamina dan PLN bisa membengkak. “Kalau ini terus dilakukan saya khawatir strategi mengurangi beban bisa menyebabkan kelangkaan pasokan premium, LPG 3 kg dan kebijakan yang merugikan masyarakat lainnya,” katanya kepada Kontan.co.id, Rabu (27/12). Ia mengingatkan, besarnya utang Pertamina dan PLN juga mengandung contigent liability bagi APBN. Jika dua BUMN itu kesulitan melunasi kewajiban jangka pendek yang harus menanggung adalah anggaran negara. “Jadi ini strategi simalakama. Harga populisme untuk menjaga BBM dan listrik agar tidak naik sangat mahal bagi kelangsungan fiskal,” ucapnya. Ia melanjutkan, harga BBM RON 88 tidak naik tapi pasokan berkurang dari peredaran juga akan mempengaruhi inflasi. Sebab, masyarakat dipaksa beralih ke RON 95. “Ini juga bisa memicu inflasi semu administered price,” kata dia. Dirjen Anggaran Askolani menyatakan, pemerintah telah mengantisipasi jika tidak menambah subsidi energi atau menyesuaikan harga BBM dan listrik. Baik dampaknya kepada inflasi dan kepada fiskal.