Simalakama Kenaikan Harga Minyak Mentah, Pemerintah Harus Apa?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tampaknya pemerintah akan dihadapkan pada pilihan yang sulit dalam merespon harga minyak mentah dunia yang terus melonjak.

Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewanti-wanti naiknya harga energi global efek dari perang Israel-Hamas apabila konflik tersebut berlangsung lama.

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita mengatakan, situasi yang saat ini terjadi akan menjadi warning untuk PT Pertamina Persero dan pemerintah yang sempat berencana ingin menghapus pertalite dan menggantinya dengan pertamax green 92.


"Jangankan untuk migrasi ke varian yang lebih mahal, untuk bertahan di pertalie saja masih berpotensi mengalami penyesuaian harga," ujar Ronny kepada Kontan.co.id, Rabu (18/10).

Selain itu, Ronny bilang, subsidi energi pada tahun ini juga berpotensi jebol. Hal ini bukan hanya dari harga minyak yang terus melonjak, namun juga adanya tekanan dari nilai mata uang yang terus melemah sehingga membuat biaya impor bahan bakar minyak (BBM) menjadi semakin mahal.

Kemudian, dirinya melihat migrasi pengguna pertamax ke pertalite akan membuat volume pertalite di pasaran semakin terbatas. Namun, jika Pertamina dan pemerintah berniat untuk mengimbangi permintaan pertalite dan volume, maka otomatis anggaran subsidinya akan membengkak.

"Migrasi pengguna pertamax ke pertalite hanya akan terjadi kalau pemerintah menaikkan harga jual BBM, baik pertamax maupun pertalite dengan selisih harga yang cukup lumayan besar," katanya.

Dengan berbagai kondisi tersebut, Ronny memperkirakan bahwa pemerintah akan dihadapkan pada situasi trilematik. Pertama, menaikkan harga BBM baik pertamax dan pertalite, atau menaikkan salah satunya.

Kedua, menahan harga BBM dengan risiko subsidi BBM akan membengkak, lantaran harga jual pertalie yang semakin jauh dari harga keekonomian. Di sisi lain, harga pertamax juga berpotensi tidak sesuai dengan harga keekonomiannya lagi.

Atau ketiga, menaikkan harga pertalite saja sekitar 20% menjadi Rp 12.000 per liter tanpa menaikkan harga pertamax.

"Opsinya tidak mudah. Opsi menaikkan keduanya akan menggerus daya beli kelas menengah dan kelas bawah," imbuh Ronny.

Sementara itu, apabila pemerintah memilih opsi hanya menaikkan pertamax , maka daya beli kelas menengah saja yang akan tergerus, namun tetap saja berpotensi membuat kalangan kelas menengah pindah ke pertalite.

Sebaliknya, apabila pemerintah memilih opsi menaikkan pertalite saja, justru akan semakin mempersulit kehidupan kelas menengah bawah. Pasalnya, efek kenaikan pertalite sangat besar pengaruhnya kepada harga-harga lainnya, yang ujungnya akan menggerogoti kehidupan kelas menengah bawah dan berpotensi mengerek inflasi serta menekan pertumbuhan ekonomi.

"Tapi jika pemerintah tidak mengambil sikap, maka diprediksi anggaran subsidi akan membengkak. Boleh jadi sangat besar," terangnya.

Hanya saja, dengan melihat situasi politik saat ini, dirinya menduga pemerintah akan mengambil risiko untuk menahan harga alias memilih opsi status quo hingga diketahui siapa yang akan memenangkan pemilihan kepemimpinan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari