Simplifikasi Jenis BBM Jadi Kunci Peningkatan Penjualan Bioethanol



KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) menilai simplifikasi jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) bisa menjadi solusi mendongkrak penjualan Bahan Bakar Nabati (BBN) bioethanol di pasar.

Saat ini Pertamina telah menjual bahan bakar dengan campuran ethanol 5% (E5) dari molases tebu dengan nama Pertamax Green 95. Pertamina memproyeksikan penjualan Pertamax Green untuk Pulau Jawa sekitar 96.000 kilo liter (KL) setahun dan kebutuhannya 4,8 ribu sampai 5 ribu KL per tahun. 

Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menjelaskan simplifikasi jenis BBM akan membuat harga bioethanol menjadi lebih kompetitif. 


Baca Juga: Berikut Sejumlah Pencapaian EBTKE Kementerian ESDM hingga Tahun 2023

“Semisal yang dijual hanya Pertamax (non subsidi) maka selisih harga dengan harga pasar bioethanol tidak besar,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (26/1). 

Jika dibandingkan dengan Pertalite yang saat ini dijual seharga Rp 10.000 per-liter, ada selisih harga hingga Rp 3.900 karena Pertamax Green 95 dijual senilai Rp 13.900 per-liter. 

Sedangkan selisih harga dengan Pertamax tipis sekali, bahkan tidak sampai seribu rupiah. Saat ini Pertamax dijual Rp 12.950 per-liter sehingga selisih dengan Pertamax Green 95 hanya Rp 950 per-liter. 

Paulus menjelaskan lebih lanjut, harga jual bioethanol sangat dipengaruhi oleh bahan bakunya. 

Dia menjelaskan, sangat banyak faktor yang mempengaruhi harga bahan baku bioethanol di antaranya musim, kekeringan, ketersediaan di pasar. 

Misalnya bahan baku bioethanol dari singkong. Di sini akan bergantung pada ketersediaannya di pasar. Jika pasokannya berkurang di pasar, harga langsung naik karena singkong juga merupakan salah satu bahan makanan. 

Contoh lain, bahan baku dari molases atau gula. Bahan ini tergantung musim giling tebu yakni di antaranya April sampai September. 

Meski demikian, dirinya tetap mendorong Indonesia mengembangkan bioethanolnya sendiri dan diupayakan tidak mengimpor. 

“Berbicara potensi sebagai negara tropis Indonesia tentu mempunyai potensi yang besar dari berbagai sumber bahan baku. Tidak hanya gula/molases, singkong dan jagung, namun sorgum, enau, sagu, silulosa dan lainnya,” terangnya. 

Dia menilai, penggunaan bioethanol dapat menaikkan oktan bahan bakar sehingga emisinya lebih rendah dan mengurangi impor BBM. Namun tidak hanya berhenti di situ saja, Aprobi menyatakan pemerintah harus memperhitungkan lebih jauh soal ketersediaan bahan baku, biaya, teknologi, serta nilai jualnya. 

Dalam data Kementerian ESDM, sata ini produksi bioethanol di Indonesia sebesar 40.000 kiloliter 2022 dan akan ditingkatkan menjadi 1,2 juta kiloliter di tahun 2030 yang menjadi potensi campuran BBM jenis minyak bensin. Hal ini didasarkan pada studi yang dilakukan di Brasil, energi yang dihasilkan dari 1 ton tebu setara dengan 1,2 barel crude oil. 

Baca Juga: Indonesia Berkomitmen Capai Nol Emisi Karbon Sebelum 2060

Sedikit kilas baik, bioethanol telah diteliti di Indonesia sejak tahun 1980an oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan lainnya. Kemudian sekitar tahun 2006 bioethanol mulai digunakan untuk campuran bensin. 

Pertamina menggunakan 1%-2% ethanol di daerah Malang dan Bali kemudian Jakarta. Namun produksinya sangat kecil dari Molindo Raya Industrial, Lawang Malang dengan bahan baku molases. 

Akhirnya kegiatan ini terhenti di 2009 karena harga keekonomisan bioethanol tidak sesuai dengan harga beli Pertamina untuk membelinya yang disesuaikan dengan harga bensin subsidi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .