JAKARTA. Anda tentu sudah tahu, setelah memisahkan diri dari Malaysia pada 1965, Singapura menghadapi masalah pelik: mereka tak memiliki pasokan air. Maklum, negara dengan dengan luas selemparan batu itu tidak memiliki kemewahan dalam hal air seperti Indonesia. Tanah di Singapura tidak bisa diandalkan untuk memasok air tanah untuk rumah tangga maupun industri, tak seperti air tanah di Indonesia yang berlimpah ruah. "Sudah dicoba, tapi hasilnya jelek," kata Goerge Madhavan, Direktur 3P Network Department, Public Utility Board, ketika ditemui KONTAN di Singapura, akhir Mei lalu. Saat 1960-an, Singapura mengandalkan pasokan air dari aliran sungai di Johor, Malaysia, yang masuk ke wilayah Singapura. Berbekal perjanjian tahun 1961 dan 1962, meski Singapura merdeka, Malaysia tidak bisa menyetop atau mengalihkan air di sungai Johor. Itulah pasokan penting bagi Singapura saat itu.
Dari aliran sungai itulah perusahaan air minum di Singapura mengambil dan mengolah airnya menjadi air kemasan ataupun dialirkan ke setiap rumah tangga di Singapura hingga saat ini. Perjanjian pertama dengan Malaysia yang ditandatangani tahun 1961 telah berakhir pada 2011 silam dan kedua negara tidak memperpanjang perjanjian tersebut. Saat ini Malaysia dan Singapura masih terikat perjanjian tahun 1962 yang berlaku 99 tahun atau akan berakhir tahun 2061. Kini pengelolaan air di Singapura sudah berbeda. Kini Singapura tidak lagi cuma mengandalkan air impor dari Malaysia. Apalagi air hujan. Air impor dari Malaysia hanya sumber terkecil dari empat sumber suplai air di Singapura. Saat ini terdapat empat sumber pasokan air bagi Singapura. Selain impor, ada pasokan berasal dari air tadahan hujan (cathman water). Air hujan yang masuk ke drainase dialirkan menuju suatu penampungan (resorvoir) lalu diolah. Saat ini terdapat 17 buah reservoir di seluruh Singapura. Ke-17 reservoir ini merupakan penyumbang utama kebutuhan air bersih bagi 5,5 juta penduduk Singapura. Reservoir paling terkenal ialan Marina Reservoir, di jantung kota Singapura. Hanya saja metode ini sangat tergantung pada cuaca dan musim. Di musim kemarau seperti Februari hingga Juli, pasokan air berkurang. Nah, jika pasokan air berkurang, Singapura memiliki sumber air ketiga, yakni
new water. Metode ini mengolah air limbah domestik dan industri agar bisa langsung digunakan tanpa harus masuk ke reservoir. Inilah salah satu sumber bagi perusahaan minum untuk mengolahnya menjadi air minum kemasan. "Silakan diminum air yang ada di depan Anda," kata George sambil tersenyum menunjuk air kemasan kepada KONTAN.
Keempat, metode destilasi, yakni menyuling air laut menjadi air bersih untuk minum. Minusnya, metode new water dan destilasi ini memerlukan penggunaan energi yang besar sehingga biayanya lebih mahal dari dua metode lainnya. Pengolahan air sisa rumah tangga alias new water bisa memasok sekitar 30%, dan penyulingan air laut atawa destilasi sebesar 25%. Total kebutuhan air di Singapura sebanyak 400 juta galon per hari atau sekitar 150 liter bagi setiap orang per hari. Saat ini, dari total kebutuhan air di Singapura, rumah tangga hanya menghabiskan 45% air, sisanya 55% untuk industri. Namun perlu dicatat, dari keempat sumber pasokan air, semuanya dilakukan oleh perusahaan swasta asing maupun swasta nasional Singapura. Pemerintah hanya menetapkan persyaratan bagi setiap perusahaan yang akan mengelola air, dan menentukan pemenang dan mengawasi pelaksanaan kontrak. Saat ini terdapat 170 perusahaan yang mengikat kontrak pemerintah di empat sumber pasokan air tersebut. Jumlah ini naik dari sebelumnya yang hanya 50 perusahaan, sepuluh tahun lalu. George mengklaim saat ini, kebutuhan air bersih di setiap rumah tangga dapat terpenuhi. Dengan kata lain, ketersediaan air bersih di Singapura mencapai 100% dengan tarif hanya S $1,52 per meter kubik jika volume pemakaian 0-40 meter kubik per bulan, sudah termasuk pajak 30%. Tarif ini berlaku juga bagi industri, karena Singapura tidak menerapkan subsidi bagi air. "Kalau disubsidi, orang tidak mau menghemat air," tutur George. Itulah cara Singapura mencari pasokan air agar tak tergantung impor dari Malaysia.
Editor: Umar Idris