Singkawang, Kota Seribu Kelenteng yang Masih Membara dengan Tungku Naga



KONTAN.CO.ID – Singkawang, kota di Kalimantan Barat yang dikenal dengan julukan Kota Seribu Kelenteng, bukan hanya menyimpan keunikan budaya Tionghoa, tetapi juga menjadi rumah bagi kerajinan keramik yang tetap hidup di tengah arus modernisasi.

Salah satu kebanggaan Singkawang adalah keberadaan Borneo Keramik, pabrik keramik yang masih mempertahankan tradisi pembakaran dengan Tungku Naga, sebuah warisan budaya yang sudah ada sejak tahun 1937.

Baca Juga: Sosok para Konglomerat di Balik Pembangunan Bandara Singkawang


Borneo Keramik, yang berada di Desa Sakkok, Singkawang, adalah satu-satunya tempat di kota ini yang masih menggunakan Tungku Naga untuk membakar keramik. Tungku ini pertama kali diperkenalkan oleh Liauw A Tjiu, imigran asal Tiongkok yang membawa serta ketrampilan leluhurnya ke tanah Singkawang. Dengan panjang mencapai 25 meter, tungku ini mampu menampung hingga 300 keramik dalam sekali pembakaran.

Koh Ajung, pendiri Borneo Keramik yang kini berusia 57 tahun, menceritakan bagaimana ia memulai usaha ini sejak tahun 1998. Sebelumnya, Koh Ajung sudah terlibat dalam pembuatan keramik sejak tahun 1985 di pabrik milik mertuanya. “Dulu di Singkawang ada enam Tungku Naga, sekarang tinggal di sini saja. Bahan baku di sini paling cocok untuk keramik,” ujarnya.

Tungku Naga milik Borneo Keramik kini dilindungi sebagai cagar budaya oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kota Singkawang. Hal ini tak lepas dari nilai sejarah dan keunikan proses pembakarannya.

Baca Juga: Punya Bandara Baru, Pemkot Singkawang Berharap Ekonomi Terkerek

Tungku ini hanya bisa menggunakan kayu pohon karet, yang dinilai mampu menghasilkan api yang lebih sempurna dan tahan lama dibandingkan bahan bakar lainnya. Setiap kali pembakaran, yang berlangsung hingga 20 jam, diperlukan suhu 1.500 derajat Celsius untuk membuat glasir pada keramik timbul sempurna.

Proses produksi di Borneo Keramik memang tidak mudah. Dalam satu bulan, pabrik ini bisa melakukan hingga tiga kali pembakaran, tergantung cuaca. Namun, seringkali proses ini menemui kendala, seperti kayu bakar yang basah saat musim hujan. Akibatnya, dari 300 keramik yang dibakar, hanya sebagian yang berhasil dengan sempurna. “Kadang dari 50 keramik besar, yang jadi cuma 20-an,” ungkap Koh Ajung.

Meski begitu, hasil produksi Borneo Keramik selalu ludes terjual. Para pedagang datang langsung ke pabrik untuk mengambil barang-barang keramik tersebut. Harga yang ditawarkan pun bervariasi, mulai dari Rp 300.000 hingga Rp 25 juta per buah, tergantung ukuran dan motif.

Motif khas seperti cemara bangau dan naga menjadi daya tarik tersendiri bagi kolektor.Tungku Naga dan keramik Singkawang bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga bukti nyata bahwa tradisi bisa bertahan di tengah perubahan zaman.

Bagi Koh Ajung dan masyarakat Singkawang, setiap keramik yang dihasilkan adalah simbol dari semangat dan cinta terhadap budaya yang tak lekang oleh waktu. Dengan perlindungan sebagai cagar budaya, Tungku Naga ini diharapkan akan terus menjadi bagian dari identitas Singkawang yang kaya akan sejarah dan tradisi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Syamsul Azhar