Sintesa: Pemimpin harus siap hadapi perubahan



JAKARTA. Diperkirakan pada 2025, separuh dari jenis profesi yang ada saat ini akan punah terkenda dampak dari perkembangan digital disruption. Hal itu diungkapkan Lyra Puspa, pakar Neurosains terapan bisnis & organisasi yang juga Ketua Asosiasi Sinergi Terapan Neurosains Indonesia (Sintesa).

Menurutnya, saat ini terjadi situasi VUCA yang berarti volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity. Dimana VUCA dianggap membawa terlalu banyak hal baru, asing, kompleks, dan tidak pasti. Maka disruption yang semula mungkin dianggap menarik, kini dipersepsikan sebagai sebuah sumber bahaya bagi industri. 

Namun menurut Lyra, perusahaan yang mekanisme otak para pemimpinnya mampu menyikapi dengan positif terhadap situasi ini akan mampu bertahan atau bahkan semakin melesat. "Sementara perusahaan yang kolaps adalah yang dipimpin oleh para eksekutif yang tidak sanggup menjinakkan respons negatif otak mereka," kata Lyra, Senin (15/5).


Lyra mencontohkan kasus yang paling nyata adalah tutupnya rangkaian outlet penyewaan video di Amerika Serikat, Blockbuster, yang mengabaikan kehadiran Netflix.

Pada 2000 ketika Blockbuster menjadi raksasa yang nyaris tanpa lawan di industri penyewaan video, CEO Blockbuster menolak tawaran Netflix yang masih bayi untuk membeli saham Netflix. Tanda-tanda perubahan akibat teknologi internet diabaikan, karena arogansi sebagai market leader. 

Hanya dalam waktu beberapa tahun saja, pasar Blockbuster mulai tergerus dan pendapatan terus merosot. Era internet membuat Netflix menemukan momentum untuk melejit. Tanpa disadari, industri penyewaan video sudah ter-disrupt oleh industri penyewaan film online yang dirintis oleh Netflix. 

Oleh karena itu, apa yang perlu diupayakan pada pemimpin perusahaan pertama adalah melatih change agility, terbuka terhadap perubahan apapun, baik perubahan eksternal maupun internal. "Begitu kita membuka diri terhadap berbagai bentuk perubahan, kita sesungguhnya sedang melatih amygdala di sistem limbik kita agar tidak terlalu mudah meneriakkan sinyal bahaya. Novelty (hal baru) tidak kita anggap sebagai musuh, tapi kita sikapi dengan penuh rasa ingin tahu," kata Lyra.

Kedua, melatih diri untuk fokus. Disruption juga membawa distraction pada otak kita. Terlalu banyak hal baru yang menarik membuat kita bingung mulai dari mana, akhirnya tidak ada yang selesai. Kematangan konteks prefrontal kita perlu dilatih.

"Dengan begitu kita mampu untuk memilah mana aspek yang harus difokuskan terlebih dahulu, apa saja yang harus diprioritaskan, mana yang kita akan tangani secara serius, apa saja tahapan dan langkah untuk menanganinya, dan seterusnya," ujarnya.

Dengan kemampuan mengendalikan fokus, maka kita akan semakin mudah mencapai tahap flow yang sangat optimal untuk mencapai kinerja puncak. 

"Disruption justru menjadi tantangan yang menarik, karena otak kita mampu untuk tetap fokus pada peluang. Peluang untuk menorehkan prestasi baru di lahan yang lebih luas. Bukan justru perhatian kita terpecah tanpa solusi," kata Kandidat PhD Applied Neuroscience in Psychology pada Canterbury University, UK ini.

Ketiga, membangun growth mindset, yaitu paradigma yang berfokus pada perkembangan kemajuan dan bukan semata-mata hasil kinerja. Era disruptif ini menurut Lyra tidak mungkin lagi melakukan business as usual. Karena itu pengukuran kinerja berlandaskan cara kerja lama tidak mungkin dipertahankan.

Lyra yang juga President Vanaya Coaching Institute mengatakan, manakala ketiga karakteristik itu sudah terbangun di dalam diri pemimpin di seluruh jenjang organisasi, inilah yang disebut agile organization. "Oleh karena itu sangat dibutuhkan pendampingan bagi para eksekutif dan manajer oleh coach yang memahami bagaimana mengoptimalkan kinerja otak manusia," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan