Sinyal positif geliat ekspor dan impor November



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sila berharap, ekonomi Indonesia lebih baik di tahun depan. Setidaknya, data ekspor dan impor Indonesia pada November 2017 memberi sinyal pemulihan ekonomi nan melegakan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor dan impor pada November 2017 menjadi nilai ekspor dan impor bulanan tertinggi sejak Oktober 2014.

Mari kita bedah. Nilai ekspor November 2017 sebesar US$ 15,28 miliar, naik 0,26% dibanding dengan ekspor Oktober 2017. Nilai tersebut juga naik sekitar 13,18% dibandingkan November 2016.

Pun halnya catatan impor November 2017 yang senilai US$ 15,15 miliar. Nilai itu naik 6,42% dibanding Oktober 2017, dan 19,62% di atas impor November tahun lalu.


Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, kenaikan harga komoditas telah memicu nilai ekspor November lalu. Sedangkan tren lonjakan impor barang modal mendukung kenaikan impor bulan lalu.

Ihwal tren kenaikan impor, boleh dibilang memberi sinyal pemulihan daya beli maupun industri. Sebab, kenaikan impor ditopang oleh tren kenaikan impor barang konsumsi, bahan baku produksi, serta barang modal.

Impor barang konsumsi, sebagai contoh, nilainya sekitar US$ 1,36 miliar, naik 31,15% dibanding November 2016. Nilai impor bahan baku mencapai US$ 11,15 miliar, meningkat 16,61%. Adapun nilai impor barang modal US$ 2,64 miliar, 27,73% dibanding setahun lalu.

Alhasil, Suhariyanto menandaskan, kenaikan kinerja perdagangan kali ini bukan bersifat temporer. "Kalau kenaikan hanya satu atau dua bulan, saya akan bilang ini temporary," katanya, Jumat (15/12).

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo melihat, tren positif ini akan mendorong ekonomi tahun depan. Sebab, kenaikan impor yang tinggi menunjukkan persiapan ekspansi tahun 2018. "Kami melihat ekspor dan investasi akan berperan besar bagi ekonomi 2018," kata Agus

Peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, pertumbuhan impor barang konsumsi periode Januari–November 2017 sebesar 15,19%, menjadi sinyal positif perbaikan konsumsi rumah tangga. Tapi, dia mengingatkan, tren pelemahan rupiah bisa mengganggu tren pemulihan itu. Maklum, rupiah yang lemah menyebabkan harga barang impor menjadi lebih mahal, sehingga menekan lagi daya beli konsumen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia