KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor kredit pertambangan sudah mulai menanjak kendati harga komoditas tambang belum naik. Menurut data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Agustus 2018 total kredit pertambangan dan penggalian mencapai Rp 129,14 triliun. Bila dibandingkan dengan periode setahun sebelumnya, kredit tersebut sudah tumbuh 11% dari Rp 116,33 triliun. Bahkan, memakai data analisis uang beredar yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI) per September 2018 lalu total penyaluran kredit perbankan ke sektor pertambangan dan penggalian mencapai Rp 127,4 triliun atau tumbuh 23,09%. Sementara itu, SPI OJK per Agustus 2018 mencatat rasio
non performing loan (NPL) sektor ini turun ke level 4,1% dari tahun sebelumnya yang sempat menembus 8%.
Salah satu bank yang masuk ke sektor ini yaitu PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) mengatakan saat ini pihaknya memang sangat hati-hati dalam menyalurkan kredit ke sektor ini. Meski demikian, total ekspansi kredit BNI ke sektor ini cukup tinggi. Direktur Keuangan BNI Anggoro Eko Cahyo menuturkan, setidaknya sampai dengan kuartal III-2018 secara tahunan atau
year on year (yoy) pinjaman BNI pada sektor pertambangan tumbuh sebesar 16,8% menjadi Rp 17,1 triliun. Bila dirinci, mayoritas kredit tersebut berasal dari segmen kredit korporasi yang mencapai Rp 10,63 triliun. Jumlah ini naik pesat sebesar 36,2% yoy. NPL kredit tambang BNI di segmen korporasi juga turun sangat drastis dari 10,3% di kuartal III-2017 menjadi 0,3%. Tak hanya itu, di segmen kredit menengah, eksposur kredit BNI ke sektor pertambangan juga tumbuh 7,4% yoy dari Rp 1,92 triliun menjadi Rp 2,06 triliun. Lagi-lagi, NPL pertambangan segmen ini turun signifikan dari 4,5% menjadi bersih alias 0,0%. Sama halnya dengan kredit kecil BNI ke sektor pertambangan, meski secara
oustanding terbilang tipis, sektor ini setidaknya mencatat pertumbuhan 25,7% yoy menjadi Rp 279 miliar. NPL pada segmen ini juga turun signifikan dari 1,1% menjadi 0,0%. Meski tak menjadi sektor andalan, Anggoro mengatakan pihaknya memang belakangan ini sangat selektif dalam menyalurkan kredit. Apalagi sektor pertambangan, bank berlogo 46 ini hanya mau menyalurkan kredit ke debitur berpengalaman atau perusahaan jumbo seperti milik BUMN. "Ekspansi BNI pada sektor pertambangan dilakukan dengan selektif, yang terutama pada debitur BUMN serta pemain utama di segmen ini," ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (5/11). Bank yang juga milik BUMN ini bilang, bahwa mayoritas kredit pertambangan di BNI saat ini didominasi oleh PT Pertamina (Persero). Anggoro meyakini, ke depan sektor pertambangan akan mulai diminati oleh perbankan seiring dengan membaiknya harga komoditas. "Terkait perkembangan harga komoditas tambang, tentunya menjadi pendorong ekspansi di sektor pertambangan untuk kedepannya," ungkapnya. Walau BNI masih menyalurkan ke sektor pertambangan, nyatanya banyak bank yang masih ogah terjun ke sektor ini. Wajar, sektor pertambangan memang memiliki tingkat risiko yang cukup tinggi dan sangat bergantung pada harga komoditas. Sebut saja PT Bank Central Asia Tbk (BCA) yang sejak lama tidak mau masuk ke sektor pertambangan. Sebabnya, menurut Sekretaris Perusahaan BCA Jan Hendra, volatilitas alias pergerakan bisnis di sektor ini sangat tinggi. "Kami tidak memiiki eksposur yang cukup dalam sektor pertambangan sejak dahulu, dimana volatilitasnya cukup tinggi," kata Jan Hendra. Sama halnya dengan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tmur Tbk (Bank Jatim) yang belum mau masuk ke sektor ini dalam waktu dekat. Direktur Keuangan Bank Jatim Ferdian Satyagraha menilai, ketimbang mengambil risiko pihaknya lebih memilih untuk menyalurkan kredit ke sektor lain, terutama pembiayaan infrastruktur. "Bank Jatim tidak melakukan pembiayaan di sektor pertambangan, kebijakan internal kami, pembiayaan difokuskan ke infrastruktur dan dalam waktu dekat belum akan masuk ke pertambangan," pungkasnya. Di sisi lain, bank seperti PT Bank Bukopin Tbk juga mengakui perbaikan NPL di sektor pertambangan memang terjadi. Walau tak merinci secara detail, Direktur Utama Bukopin Eko Rachmansyah Gindo dalam pemberitaan yang dimuat Kontan.co.id (29/10) lalu menyebut debitur batubara bermasalah sektor pertambangan Bukopin yang sempat menjadi penyumbang NPL terbesar pada beberapa tahun lalu mulai masuk dalam kategori lancar (kol 2).
"Segmennya (NPL) di pertambangan batubara itu sebenarnya dalam setahun terakhir sudah recovery. Memang sempat ada split di pemegang saham sehingga terjadi keterlambatan (pembayaran) tapi sekarang sudah lancar karena aktivitas penambangan sudah jalan," ujarnya. Catatan saja, per September 2018 lalu NPL Bukopin berada di level 5,63% atau naik 53 basis poin (bps) dari periode September 2017 yang sebesar 5,09%. Setidaknya dengan upaya penyelamatan dan mitigasi risiko, Bukopin menarget posisi NPL akhir tahun dapat ditekan hingga ke bawah 5%. Sebagai informasi tambahan, berdasarkan jenis bank umum kelompok usaha (BUKU), tercatat BUKU I dan II memiliki NPL masing-masing 5,19% dan 1,8% ke sektor pertambangan. Adapun BUKU III dan IV tercatat 5,69% dan 2,96% per posisi Agustus 2018. Secara berurutan, posisi ini membaik dari 21,19%, 9,14%, 8,96% dan 6,87% dari periode Agustus 2017 lalu. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi