Bursa saham global sedang meriang. Indeks saham di berbagai belahan dunia seperti berlomba terjun bebas tanpa parasut ke dasar jurang. Tanpa terkecuali di Jakarta. Satu bulan terakhir Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) minus 6,18% menjadi 6.210,69. Jika dihitung sejak awal tahun, IHSG merosot 2,28%. Genderang perang dagang antar negara masih menjadi episentrum guncangan di pasar finansial. Pelaku pasar, misalnya, mencemaskan tiga beleid Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang dinilai mengobarkan era proteksionisme.
Pertama, AS menerapkan bea masuk tinggi hingga 25% terutama terhadap produk impor dari China. Dalihnya, tarif tinggi merupakan kompensasi praktik pembajakan hak cipta yang dilakukan China. Upaya kedua Trump yang disorot adalah diskon pajak bagi investasi korporasi Amerika untuk merepatriasi aset AS di luar negeri. Yang ketiga, Trump melarang perusahaan dari luar membeli perusahaan Amerika. Misalnya, upaya Broadcom dari Singapura membeli Qualcomm dijegal. Sementara proposal akuisisi Moneygram yang diajukan Alibaba Group milik Jack Ma juga dimentahkan. Yang terang, sepanjang kekuasaannya, Trump sudah membatalkan delapan proposal akuisisi dari korporasi China. Oh, iya. Aksi jegal terhadap Broadcom termasuk unik. Perusahaan ini merupakan entitas Amerika. Broadcom pindah ke Singapura sejak dibeli dan merger dengan Avago. Yang menarik, Trump memberikan sinyal bahwa Broadcom bisa membeli Qualcomm jika mau memindahkan basisnya ke Amerika lagi. Nah, meski kontroversial, ada satu benang merah yang bisa ditarik dari rezim proteksi yang dipicu Trump: dia ingin menarik pulang dana dan korporasi AS dengan menggunakan instrumen fiskal. Bagaimana dengan Jakarta? Indonesia memiliki kesempatan itu melalui amnesti pajak. Program ini menjadi peluang untuk merepatriasi aset WNI di luar negeri asalkan pintar merayu para pemilik dana.
Setahun berlalu, nilai reptariasi tak fantastis. Bahkan kini mulai terdengar bisik-bisik dana itu kembali kabur ke luar negeri. Pangkal persoalannya masih pada ketidakpastian reformasi pajak pasca tax amnesty. Di sisi lain, sejumlah negara mengiming-imingi tarif pajak yang lebih menggiurkan. Moral ceritanya, duit tidak memiliki nasionalisme. Perlu keahlian merayu agar mereka yakin Indonesia tempat yang nyaman, bukan malah ditakut-takuti. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi