JAKARTA. Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi mencapai 5,01% pada kuartal I - 2017. Namun, membaiknya pertumbuhan ekonomi tidak diikuti oleh turunnya angka gini ratio yang signifikan. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, gini ratio menurun dan cenderung stagnan. Memang ada penurunan gini ratio selama beberapa tahun lalu, tapi hanya bertahan di kisaran 0,420 menjadi 0,387 pada Maret 2017. Pemerintah selalu mengklaim bahwa adanya penurunan gini ratio yang sudah dicapai adalah berita bagus. "Sudah bagus gini ratio kita turun, tidak nambah, biasanya nambah," kata Bambang Brodjonegoro, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas beberapa waktu lalu.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup baik, hingga menyentuh kisaran 5%, ternyata tidak dapat dinikmati oleh masyarakat kalangan bawah. Adanya ketimpangan, membuat pertumbuhan ekonomi tidak merata. "Konsumsi sekarang banyak didominasi oleh kalangan atas. Itu artinya, pertumbuhan ekonomi yang sudah mencapai 5,1% hanya bisa dirasakan masyarakat kalangan atas dan tidak bisa dirasakan rakyat kecil," tuturnya. Hal serupa dilontarkan oleh Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian, Darmin Nasution. Darmin mengungkapkan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik ternyata tidak diikuti oleh penurunan tingkat kemiskinan yang signifikan. "Bahkan secara absolut dia (tingkat kemiskinan) tidak turun, tapi secara persentase saja turun sedikit. Apa artinya itu? Artinya menurunkan tingkat kemiskinan itu makin lama makin susah. Untuk menurunkannya harus ada upaya yang lebih besar dari yang lalu- lalu," ungkap Darmin di Pekanbaru, Senin (31/7). Oleh Karena itu, pemerintah menggagas bisnis model klaster dalam program reforma agraria sebagai salah satu solusi mengatasi ketimpangan dan kemiskinan. Darmin menjelaskan, nantinya dalam satu daerah akan mengusahakan satu komoditas unggulan di wilayah tersebut. "Misal, satu desa, komoditas unggulannya cabai, ya tanam cabai semua. Kalau melon ya melon semua. Pelihara ikan, ya pelihara ikan semua. Kenapa itu penting? Untuk meningkatkan produktivitas," terang Darmin. Agar sistem klaster bisa berhasil, ada baiknya menerapkan prinsip satu desa minimal satu komoditas unggulan. Pasalnya, untuk menuju klaster dibutuhkan beberapa tahapan agar nantinya tidak diprotes oleh masyarakat. "Tidak usah buru-buru langsung berbentuk klaster, minimal tiap desa ada satu komoditas unggulan saja, itu sudah langkah menuju klaster," ujar Darmin. Setelah satu desa satu komoditas unggulan sukses, masyarakat desa sekitar akan menerima klaster dengan sendirinya. Soal tantangan dari sistem klaster ini, Darmin pun lanjut menjelaskan, selama ini sistem pertanian di Indonesia tidak menaruh perhatian pada kualitas bibit. "Kita di Indonesia tak terlalu peduli bibit. Kalau nanam jagung bibitnya salah, gampang, tiga bulan ketahuan. Tapi kalau kelapa sawit, salah bibitnya, kalau bagus, empat tahun sudah ketahuan. Tapi kalau tidak, nanti tujuh tahun baru ketauan, ini bibitnya salah," ujarnya. Lalu tantangan kedua sistem bisnis klaster adalah soal
off taker atau pihak yang bersedia membeli hasil panen. "Percuma kalau para petani sudah sedemikian rupa mengusahakan pengelolaan lahan, tapi kalau hasil panen mereka tidak ada yang menyerap," kata Darmin. Maka, pemerintah menggandeng pihak swasta untuk kerja sama dalam model bisnis klaster ini. Darmin bilang, swasta bisa memiliki beberapa peran, misal sebagai penyuplai bibit maupun
off taker hasil panen yang akan digunakan sebagai bahan baku produknya. "Beberapa waktu lalu, Unilever bilang ke saya. Kalau ada lahan yang bisa diupayakan untuk menanam guava (jambu biji), berapa pun banyaknya, mereka mau beli. Tidak perlu yang terlalu bagus, standar saja. Karena tiap bulan mereka impor itu guava ratusan ton dari India," ungkap Darmin.
Ia mengutarakan, bisnis klaster ini punya banyak manfaat, bisa saling menguntungkan antara petani dan pihak swasta. Bagi pemerintah pun, dengan adanya sistem klaster tersebut, komoditas tanaman pangan produktivitas dan produksinya bisa terdongkrak. "Dan yang terpenting, masyarakat petani itu yang biasanya pendapatannya rendah, setidaknya bisa punya jaminan pasar dan pendapatannya bisa sedikit meningkat," ucap Darmin. Ia pun mengimbau agar model Corporate Sosial Responsibility (CSR) perusahaan juga bisa menerapkan model bisnis klaster. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto