JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah mengembangkan manajemen penanganan wajib pajak berbasis risiko atau compliance risk management (CRM) sebagai bagian dari upaya reformasi perpajakan. Kemarin, Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2017 tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Awan Nurmawan Nuh mengatakan, dengan sistem CRM, Ditjen Pajak bisa memetakan wajib pajak berdasarkan risiko, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. “Jadi, nanti kami petakan wajib pajak berdasarkan risiko. Nanti, kami tangani juga berdasarkan risiko,” kata Awan di Jakarta, Selasa (17/5).
Ia mengatakan, CRM akan mulai dioperasikan oleh Ditjen Pajak pada Juni tahun ini. “Embrionya sudah ada, nanti akan terintegrasi di sistem kami yaitu coretax,” papar Awan. Awan juga mengatakan, saat ini, pemeriksaan wajib pajak cenderung belum terintegrasi dengan sistem atau masih manual. Ia menjelaskan, proses pemetaan sebenarnya juga sudah ada saat ini di Ditjen Pajak, tetapi pelaksanaannya belum menyeluruh. "Kami ingin kertas kerjanya dalam sistem agar bisa mengawasi data perpajakan lebih baik," ujarnya. Menurut Awan, untuk pengoperasian CRM, Ditjen Pajak memiliki formula tersendiri dalam hal kategorisasi risiko dari wajib pajak, seperti histori perilaku kepatuhan dan pembayaran pajak. Dari kegiatan monitoring tersebut, menurut Awan, akan didapatkan wajib pajak mana yang harus diperiksa atau sekadar diberikan penyuluhan. Dengan demikian, Ditjen Pajak bisa lebih fokus karena tidak melihat semua wajib pajak secara sama saja seperti selama ini.