Skema Kontrak 4 Blok Migas Diajukan untuk Diubah, Ini Kata Pengamat



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada awal tahun ini, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) secara resmi telah mengajukan permohonan perubahan skema kontrak bagi hasil dari empat blok minyak dan gas bumi (migas) yang dikelolanya dari sistem gross split menjadi cost recovery. 

Di mana, keempat blok yang diajukan untuk migrasi menjadi cost recovery itu adalah Blok Offshore Southeast Sumatra (OSES), Offshore North West Java (ONWJ), Attaka, dan Tuban East Java.

Untuk diketahui, sebelumnya keempat blok menggunakan sistem Kontrak Bagi Hasil (Production Cost Sharing/PSC) model gross split yaitu suatu bentuk kontrak kerja sama dalam kegiatan usaha hulu Migas yang berdasarkan prinsip pembagian gross (kotor) produksi tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi.


Terkait langkah yang dilakukan PHE, pengamat Migas sekaligus mantan President  Indonesian Petroleum Association (IPA) Tumbur Parlindungan mengatakan ada beberapa faktor yang bisa menjadi latar belakang keputusan ini diambil salah satunya adalah karena sistem peraturan di Indonesia yang berbelit-belit dan tumpang tindih. 

Baca Juga: Pertamina Hulu Energi (PHE) Anggarkan Capex US$ 5,71 Miliar Tahun Ini

“Secara umum, birokrasi di Indonesia itu panjang dan berbelit-belit, banyak aturan yang tumpang tindih. Pada umumnya mengurus perizinan perlu waktu yang cukup lama dan waktu itu merupakan cost untuk pengelolaan migas yang membutuhkan biaya yang besar dengan risiko yang tinggi,” ungkapnya saat dihubungi Kontan, Senin (29/04).

Dengan konsep cost recovery, Tumbur mengatakan semua biaya operasi akan dikembalikan bila berproduksi, termasuk biaya birokrasi dan waktu tunggu akan dikembalikan setelah block itu berproduksi.

“Kalau konsep ‘gross split’ semua biaya tersebut ditanggung oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau K3S dan seperti kita ketahui, biaya birokrasi tersebut bukan disebabkan oleh K3S. Kepastian hukum (contract sanctity) aturan yang ada juga menjadi risiko yang sangat besar. Kadang kala banyak pekerjaan tertunda karena tidak adanya kepastian hukum dalam berinvestasi,” jelasnya.

Perubahan  ungkapnya akan semakin banyak dilakukan karena menurutnya dapat meningkatkan nilai keekonomian lapangan atau blok Production Sharing Contract/PSC tersebut.

“Akan semakin banyak block PSC dari gross split ke cost recovery system. Kemudian, penyederhanaan aturan akan membantu dalam proses birokrasi dan apalagi bila dapat dilakukan konsep “compliance”, ini akan menguntungkan semua pihak dan fiscal regime baik gross split maupun cost recovery,” tambahnya.

Ia menambahkan K3S lain juga akan meminta perubahan tersebut apabila dilihat akan sangat membantu keekonomian block PSC tersebut.

“Karena cost recovery ini akan mengurangi risiko investor terutama dari proses birokrasi dan kepastian hukum yang ada di Indonesia,” ungkapnya.

Baca Juga: Pertagas dan PHE Jalin Kerja Sama Pemanfaatan Kompresor Gas untuk Operasional

Lebih lanjut, Tumbur menambahkan resiko business upstream minyak dan gas sangat besar terutama di bagian subsurface atau di bawah permukaan, sehingga sistem kontrak juga harus menjadi pertimbangan matang yang akan berpengaruh jangka panjang. 

“(Subsurface) biaya yang sangat besar karena membutuhkan teknologi yang mahal dan karena itu semua resiko lainnya yang bisa di mitigasi, karena mempunyai dampak yang besar dalam menentukan proses investasi,” tutupnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari
TAG: