KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kepala Center of Food Energy and Sustainable Development (CFESD) INDEF, Abra Talattov, menyatakan bahwa skema power wheeling (pemanfaatan bersama jaringan listrik) dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT) tidak mendesak dan malah dapat merugikan rakyat sebagai kebijakan yang terlalu memaksa. Menurutnya, skema tersebut hanya menjadi pemanis untuk mendorong investasi pembangkit EBT, tanpa mempertimbangkan kondisi sektor ketenagalistrikan saat ini yang tidak mendesak. "Meskipun pemerintah telah memberi insentif kepada swasta untuk meningkatkan bauran EBT, implementasi skema ini tidak relevan," ujarnya dalam keterangannya, Selasa (21/11).
Baca Juga: Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (EBET) Akan Rampung Kuartal I 2024 Ia menyatakan bahwa beban negara semakin berat akibat kompensasi listrik yang harus dikeluarkan akibat oversupply listrik. Kondisi ini terjadi karena disparitas antara pasokan dan permintaan tenaga listrik, yang disebabkan oleh penambahan pembangkit baru. Dampaknya adalah lonjakan kewajiban capacity payment dan denda bagi PLN, yang harus menyesuaikan produksi listriknya dengan produksi dari Independent Power Producers (IPP). Ia juga menyoroti melesetnya asumsi pertumbuhan permintaan listrik dalam RUPTL, yang berpotensi menggerus penjualan listrik PLN. Dengan masuknya skema power wheeling, risiko over supply listrik semakin tinggi, berdampak negatif pada keuangan negara dan membebani APBN. Abra menekankan bahwa dalam kondisi oversupply listrik sebesar 1 GW, biaya kompensasi kepada PLN mencapai Rp 3 triliun per GW. Hal ini akan meningkatkan beban APBN, terutama dalam bentuk subsidi dan kompensasi listrik yang terus meningkat setiap tahunnya.