KONTAN.CO.ID-JAKARTA Kementerian Keuangan mengungkapkan rencananya untuk mengevaluasi kebijakan insentif pajak penghasilan (PPh) Final dengan tarif 0,5% bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, evaluasi tersebut diperlukan untuk mempertimbangkan apakah insentif pajak UMKM yang sudah dimanfaatkan sejak tahun pajak 2018 perlu dilanjutkan lagi oleh pemerintah atau tidak. "Insentif pajak ini sebenarnya tetap, cuma fasilitas menggunakan PPh Final ini kita evaluasi. Apakah masih dibutuhkan atau UMKM memang sudah semakin punya kapasitas sehingga bisa diperlakukan secara lebih adil," ujar Sri Mulyani dalam rapat bersama Komite IV DPD, belum lama ini.
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto mengatakan bahwa pengenaan PPh Final 0,5% untuk UMKM ini sebetulnya baik, dikarenakan bisa mendorong kepatuhan Wajib Pajak pelaku UMKM. "Mengingat, mereka selama ini memiliki keterbatasan dalam menyelenggarakan pembukuan (Laporan Keuangan)," ujar Wahyu kepada Kontan.co.id, Senin (9/9).
Baca Juga: Kejar Target Pajak, Kemenkeu Alokasikan Rp 549,39 Miliar untuk Penguatan CTAS Lantaran bersifat final, maka penghitungan PPh UMKM 0,5% ini tidak memerlukan pembukuan, cukup berdasarkan pencatatan saja dan dihitung berdasarkan penghasilan bruto. Sementara, jika mengacu pada penghitungan PPh yang berlaku umum yakni sesuai Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), maka pelaku usaha terutama yang berbentuk badan, harus memiliki pembukuan. Menghitung PPh terutangnya juga mengacu pada penghasilan neto (Penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya). Meski demikian, pemerintah berharap para pelaku UMKM ini bisa naik kelas, tidak hanya skala usahanya, tetapi dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Itulah mengapa, kata Wahyu, pemerintah membatasi penggunaan fasilitas PPh 0,5% bagi UMKM, yaitu tujuh tahun untuk WP orang pribadi, 4 tahun untuk WP Badan WP Badan berbentuk koperasi, CV, Firma, BUMDes dan BUMDesma dan dan 3 tahun untuk WP Badan berbentuk PT. Dalam konteks tersebut, menurut Wahyu evaluasi pemberian fasilitas PPh final dirasa diperlukan. Pertama, untuk memastikan fasilitas ini tidak dijadikan alat penghindaran pajak oleh pelaku usaha dengan memecah kegiatan usahanya agar tetap masuk ke dalam
threshold. Kedua, untuk memastikan aturan yang berlaku sekarang sudah cukup mempermudah pelaku UMKM masuk ke dalam sistem perpajakan. "Sebetulnya dengan pembebasan PPh untuk penghasilan hingga Rp 500 juta, ketentuan mengenai PPh final ini sudah sangat baik untuk menarik WP UMKM ke dalam sistem perpajakan," katanya. Adapun alasan lain perlunya evaluasi insentif tersebut adalah dikarenakan merupakan fasilitas perpajakan yang nilainya relatif meningkat dalam tiga tahun terakhir. Menurut Laporan Belanja Perpajakan 2022 yang dirilis Badan Kebijakan Fiskal, sejak tahun 2021 nilai belanja perpajakan PPh Final UMKM ini naik dari 15,83 triliun menjadi Rp 18,99 triliun di tahun 2024 dan diproyeksikan naik lagi menjadi Rp 20,76 triliun di tahun 2025. Oleh karena itu, Wahyu berpendapat bahwa pemberian fasilitas ini bisa dilanjutkan dengan disertai pengawasan dan pendampingan yang lebih baik, agar pelaku UMKM kita bisa masuk ke dalam sistem perpajakan. Meski demikian, dirinya menyadari bahwa pengenaan PPh final bukanlah hal yang ideal. Idealnya, setiap pelaku usaha dikenakan pajak sesuai dengan porsi dan kemampuan ekonominya. "Artinya, dia layak dikenai pajak jika memang kegiatan usahanya menghasilkan keuntungan. Sebaliknya, dia tidak perlu membayar pajak ketika merugi. Konsep ini tentu tidak ada dalam PPh final, yang pengenaannya berdasarkan penghasilan bruto," pungkas Wahyu.
Baca Juga: Pengusaha Minta Sri Mulyani Perpanjang Insentif PPh Final UMKM 0,5% Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati