JAKARTA. Rencana pemerintah mengubah sistem subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari sistem kuota menjadi subsidi tetap mulai memacu kontroversi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pola subsidi tetap ini dianggap tak sesuai konstitusi. Dengan skema subsidi tetap, pemerintah hanya menyediakan subsidi dalam besaran tertentu setiap liter. Harga premium dan solar di tingkat konsumen akan bergerak liar, naik turun sesuai harga minyak dunia. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2004 sudah mencabut pasal 28 ayat 2 dan 3 dari Undang-Undang (UU) no 22/2001 yang mengatur mekanisme pasar dalam penentuan harga BBM bersubsidi. Sebab, pasal dalam UU Migas itu langgar UUD 1945. Putusan MK ini pula yang menjadi argumen politisi di Senayan untuk mempersoalkan kebijakan subsidi tetap yang diinginkan pemerintah berlaku 2015. Apalagi, pemerintah juga belum mengajukan anggaran perubahan di 2015.
"Penyaluran subsidi yang bertujuan menguntungkan negara, sama artinya dengan menyerahkan harga BBM sesuai mekanisme pasar. Ini bertentangan dengan UUD," tandas Ketua Komisi VII yang membidangi energi dari Fraksi Partai Gerindra Kardaya Warnika, Senin (29/12). Kardaya menilai, pemerintah gegabah dalam mengatur kebijakan energi khususnya BBM bersubsidi. Saat harga minyak mentah turun, pemerintah justru menaikkan harga. Kini, "Tanpa kajian matang, pemerintah melempar isu subsidi tetap," ujar dia. Apalagi, jika pemerintah mencabut mencabut subsidi untuk premium dan menetapkan kebijakan subsidi tetap hanya untuk solar pada awal tahun 2015. "Kebijakan ini sangat beresiko," tandas dia, Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Golkar Airlangga Hartarto menambahkan, pemerintah blunder bila mengubah skema subsidi mulai awal 2015. Soalnya, UU No 27/2014 tentang APBN 2015 masih menyebutkan bahwa pengelolaan subsidi BBM masih berdasarkan sistem alokasi.