JAKARTA. Rencana pemerintah mengubah sistem subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari sistem kuota menjadi subsidi tetap mulai memacu kontroversi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pola subsidi tetap ini dianggap tak sesuai konstitusi. Dengan skema subsidi tetap, pemerintah hanya menyediakan subsidi dalam besaran tertentu setiap liter. Harga premium dan solar di tingkat konsumen akan bergerak liar, naik turun sesuai harga minyak dunia. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2004 sudah mencabut pasal 28 ayat 2 dan 3 dari Undang-Undang (UU) no 22/2001 yang mengatur mekanisme pasar dalam penentuan harga BBM bersubsidi. Sebab, pasal dalam UU Migas itu langgar UUD 1945. Putusan MK ini pula yang menjadi argumen politisi di Senayan untuk mempersoalkan kebijakan subsidi tetap yang diinginkan pemerintah berlaku 2015. Apalagi, pemerintah juga belum mengajukan anggaran perubahan di 2015.
Skema subsidi tetap BBM picu kontroversi
JAKARTA. Rencana pemerintah mengubah sistem subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari sistem kuota menjadi subsidi tetap mulai memacu kontroversi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pola subsidi tetap ini dianggap tak sesuai konstitusi. Dengan skema subsidi tetap, pemerintah hanya menyediakan subsidi dalam besaran tertentu setiap liter. Harga premium dan solar di tingkat konsumen akan bergerak liar, naik turun sesuai harga minyak dunia. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2004 sudah mencabut pasal 28 ayat 2 dan 3 dari Undang-Undang (UU) no 22/2001 yang mengatur mekanisme pasar dalam penentuan harga BBM bersubsidi. Sebab, pasal dalam UU Migas itu langgar UUD 1945. Putusan MK ini pula yang menjadi argumen politisi di Senayan untuk mempersoalkan kebijakan subsidi tetap yang diinginkan pemerintah berlaku 2015. Apalagi, pemerintah juga belum mengajukan anggaran perubahan di 2015.